بسم الله الرحمن الرحيم

Tuesday, October 5, 2010

Dalil Pernikahan

Dalil Pernikahan

Tidak seorang manusiapun di dunia ini yang dapat membantah ketika ada seseorang yang mengatakan bahwa segala yang ada di dunia ini mengandung godaan, dan Salah satu bentuk godaan terbesar bagi Bani Adam adalah fitnah syahwat. Kebanyakan pemuda islam hancur karena adanya fitnah syahwat. Banyak sekali umat islam yang terjerumus dalam fitnah syahwat. Banyak sekali umat yang begitu perkasa, namun ternyata begitu rapuh saat harus menghadapi yang namanya syahwat.
Bahkan Rasulullah saw saja mengatakan bahwa perang Badar yang merupakan salah satu perang akbar dalam sejarah islam merupakan sebuah jihad yang kecil. Dan beliau mengatakan bahwa mereka akan menghadapi perang yang lebih besar lagi. Sahabatpun kaget mendengar perkataan Rasulullah saw dan bertanya, “Perang apalagi yang lebih besar dari perang Badar ya Rasulullah?”. Rasulullah saw menjawab, “Perang (Jihad) melawan hawa nafsu”.
Tidaklah Allah swt menurunkan suatu penyakit, melainkan IA juga menurunkan penawarnya, atau pencegahnya. Dan tidaklah Allah swt menurunkan suatu ujian, melainkan IA juga menurunkan jalan keluarnya. Dan Allah hanya menurunkan dua buah jalan keluar dalam perjuangan melawan hawa nafsu ini, yang pertama adalah menikah. Dan yang kedua adalah puasa, bagi yang belum mampu untuk menikah.
“Menikah”, sebuah kata sederhana namun sarat dengan makna dan tanggung jawab. Menikah adalah impian bagi seluruh Bani Adam yang normal. Menikah adalah media penangkal hawa nafsu yang tak pandang bulu. Menikah adalah ikatan sakral yang menjadi anjuran Rasulullah saw dan Allah swt. Menikah adalah penawar bagi racun fitnah. Menikah adalah sepiring nasi lengkap dengan sayur, lauk, dan pencuci mulut bagi syahwat yang lapar. Menikah adalah segelas jus favorit bagi syahwat yang tengah dahaga. Menikah adalah rambu-rambu bagi syahwat yang melanglang buana.
Menikah adalah satu diantara dua buah  jalan keluar terbaik yang diberikan oleh Allah swt bagi umat-Nya. Banyak sekalli keutamaan yang akan diperoleh dari menikah. Seseorang yang telah menikah akan terhindar dari fitnah syahwat. Menikah akan memberikan ketentraman. Menikah akan membukakan pintu rizki.
Memang, Islam melalui Al quran dan Sabda Rasulullah saw sangat menganjurkan umatnya untuk menyegerakan menikah. Bukan berarti islam mengajarkan untuk tergesa-gesa dalam menikah. Anjuran untuk menyegerakan menikah ini tentunya diperuntukkann bagi mereka yang memang sudah mampu, bukan sekedar merasa “kepingin” saja. Sudah mampu di sini maksudnya adalah mampu untuk memberikan nafkah baik lahir maupun bathin, dan memiliki ilmu agama (yang di dalamnya terdapat tuntunan menikah dan membina keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warrohmah). Meskipun demikian, adanya tingkat kemampuan/kesiapan seseorang untuk menikah juga tidak datang dengan sendirinya dan tiba-tiba. Kesiapan tidak akan hadir jika kita sendiri tidak mempersiapkannya. Inilah yang oleh kebanyakan orang sering dilupakan. Banyak sekali orang yang menunda atau mengakhirkan untuk menikah dengan alasan belum siap (belum mampu). Sedangkan dalam menjalani kehidupan, ia sama sekali tidak menggoreskan dengan jelas misi menikah itu dalam buku panduan hidupnya. Ia hanya berprinsip, “Biarkan saja mengalir seperti air”. Kalau demikian, bagaimana akan ada perkembangan? Kita harus mampu untuk bergerak lebih dari sekedar air yang mengalir. Tempatkan kata “Menikah” di halaman pertama buku panduan hidup anda. Karena menikah adalah solusi terbaik dari godaan terbesar yang kapanpun dan dimanapun dapat menerkam kita, yaitu syahwat.
Ada rasa sedikit takut ketika memutuskan untuk menikah, apalagi diusia yang masih muda, itu adalah yang wajar. Dengan catatan, itu hanya rasa takut kecil yang tidak akan menjauhkan kita dari mengutamakan menikah. Kita tidak perlu khawatir atau takut akan miskin, karena Allah akan memberi kemampuan kepada kita. Allah akan membukakan pintu rizki-Nya untuk kita. Selagi kita tidak berhenti untuk berdoa dan berusaha, insya Allah, Allah akan membantu.
Satu hal penting lagi yang mungkin patut menjadi bahan koreksi mengenai keutamaan dan mengutamakan menikah adalah terletak di dalam pribadi kita masing-masing, yang artinya adalah “Ingin mudah atau ingin susah?”. Sesungguhnya Allah swt sendiri telah memberikan yang terbaik dan termudah bagi hamba-Nya. Namun, manusia itu sendirilah yang kemudian membuatnya menjadi susah. Allah swt telah memberikan menikah sebagai jalan yang mudah, murah, dan halal. Tapi, justru manusia itu sendirilah yang sampai saat ini masih menjadikan menikah sebagai jalan yang mahal dan susah, dengan menetapkan nilai mahar yang tinggi, dengan mengharuskan pesta atau resepsi besar, dan lain-lain. Hal inilah yang akhirnya, menjadikan sepasang manusia terjerumus dalam kubangan maksia (mendekati zina atau berzina). Mungkin hal semacam ini sudah tertanam dengan kuat dalam adat yang dibawa para orang tua. Maka, dari sini semoga kita dapat menghapuskan hal-hal yang memberatkan seseoarng atau anak kita untuk menikah. Mudahkan untuk menikah, dan jauhkan mereka dari fitnah syahwat yang senantiasa mengintai.
Menikah bukanlah awal dari sebuah perjuangan yang terlalu berat, karena kita akan memikul beban lebih dari yang biasa kita pikul. Mari kita ubah pemikiran yang demikian mengenai menikah. Menikah itu bukan untuk menjadi dua, melainkan menjadi satu. Justru Insya Allah beban yang selama ini kita anggap berat, bisa lebih ringan karena dipikul oleh dua orang, dua tenaga, dua kepala. Sekali lagi menikah itu bukan untuk menjadi dua, melainkan satu. Artinya bersatunya dua kekuatan untuk bersama maju mengarungi bahtera kehidupan. Maka dari itu, mari kita buat diri kita untuk menjadi seorang muslim yang siap menikah, sebagaimana firman Allah dan Sabda Rasulullah saw berikut yang mengarahkan kita untuk mengutamakan menikah.
Al-Quran

 وَمِن ءايٰتِهِ أَن خَلَقَ لَكُم مِن أَنفُسِكُم أَزوٰجًا لِتَسكُنوا إِلَيها وَجَعَلَ بَينَكُم مَوَدَّةً وَرَحمَةً ۚ إِنَّ فى ذٰلِكَ لَءايٰتٍ لِقَومٍ يَتَفَكَّرون
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” (QS. Ar-Ruum 21)
وَأَنكِحُوا الأَيٰمىٰ مِنكُم وَالصّٰلِحينَ مِن عِبادِكُم وَإِمائِكُم ۚ إِن يَكونوا فُقَراءَ يُغنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضلِهِ ۗ وَاللَّهُ وٰسِعٌ عَليمٌ
 Dan Nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui (QS. An Nuur 32)
وَمِن كُلِّ شَيءٍ خَلَقنا زَوجَينِ لَعَلَّكُم تَذَكَّرونَ ﴿٤٩﴾ (49)
 
“Dan segala sesuatu kami jadikan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat kebesaran Allah” (QS. Adz Dzariyaat 49)
وَلا تَقرَبُوا الزِّنىٰ ۖ إِنَّهُ كانَ فٰحِشَةً وَساءَ سَبيلًا
“Janganlah kalian mendekati zina, karena zina itu perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk” (QS. Al-Isra 32)
هُوَ الَّذى خَلَقَكُم مِن نَفسٍ وٰحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنها زَوجَها لِيَسكُنَ إِلَيها ۖ فَلَمّا تَغَشّىٰها حَمَلَت حَملًا خَفيفًا فَمَرَّت بِهِ ۖ فَلَمّا أَثقَلَت دَعَوَا اللَّهَ رَبَّهُما لَئِن ءاتَيتَنا صٰلِحًا لَنَكونَنَّ مِنَ الشّٰكِرينَ

“Dialah yang menciptakan kalian dari satu orang, kemudian darinya Dia menciptakan istrinya, agar menjadi cocok dan tenteram kepadanya” (QS. Al-A’raf 189)

الخَبيثٰتُ لِلخَبيثينَ وَالخَبيثونَ لِلخَبيثٰتِ ۖ وَالطَّيِّبٰتُ لِلطَّيِّبينَ وَالطَّيِّبونَ لِلطَّيِّبٰتِ ۚ أُولٰئِكَ مُبَرَّءونَ مِمّا يَقولونَ ۖ لَهُم مَغفِرَةٌ وَرِزقٌ كَريمٌ
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)” (QS. An-Nur 26)

وَءاتُوا النِّساءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحلَةً ۚ فَإِن طِبنَ لَكُم عَن شَيءٍ مِنهُ نَفسًا فَكُلوهُ هَنيـًٔا مَريـًٔا
“ Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.  (QS. An Nisaa : 4)

Hadits
“Sesungguhnya, apabila seorang suami memandang isterinya (dengan kasih & sayang) dan isterinya juga memandang suaminya (dengan kasih & sayang), maka Allah akan memandang keduanya dengan pandangan kasih & sayang. Dan apabila seorang suami memegangi jemari isterinya (dengan kasih & sayang) maka berjatuhanlah dosa-dosa dari segala jemari keduanya” (HR. Abu Sa’id)
“Shalat 2 rakaat yang diamalkan orang yang sudah berkeluarga lebih baik, daripada 70 rakaat yang diamalkan oleh jejaka (atau perawan)” (HR. Ibnu Ady dalam kitab Al Kamil dari Abu Hurairah)
“Nikah itu sunnahku, barangsiapa yang tidak suka, bukan golonganku” (HR. Ibnu Majah, dari Aisyah r.a.)
“Empat macam diantara sunnah-sunnah para Rasul yaitu : berkasih sayang, memakai wewangian, bersiwak dan menikah” (HR. Tirmidzi)
“Janganlah seorang laki-laki berdua-duan (khalwat) dengan seorang perempuan, karena pihak ketiga adalah syaithan” (Al Hadits)
“Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah mampu untuk kawin, maka hendaklah dia menikah. Karena dengan menikah itu lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu bisa menjadi perisai baginya” (HR. Bukhori-Muslim)
“Janganlah seorang laki-laki dan wanita berkhalwat, sebab syaithan menemaninya. Janganlah salah seorang di antara kita berkhalwat, kecuali wanita itu disertai mahramnya” (HR. Imam Bukhari dan Iman Muslim dari Abdullah Ibnu Abbas ra).
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah tidak melakukan khalwat dengan seorang wanita yang tidak disertai mahramnya, karena sesungguhnya yang ketiga adalah syetan” (Al Hadits)
“Dunia ini dijadikan Allah penuh perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan hidup adalah istri yang sholihah” (HR. Muslim)
“Jika datang (melamar) kepadamu orang yang engkau senangi agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan putrimu). Jika kamu tidak menerima (lamaran)-nya niscaya terjadi malapetaka di bumi dan kerusakan yang luas” (H.R. At-Turmidzi)
“Barang siapa yang diberi istri yang sholihah oleh Allah, berarti telah ditolong oleh-Nya pada separuh agamanya. Oleh karena itu, hendaknya ia bertaqwa pada separuh yang lain” (Al Hadits)
“Jadilah istri yang terbaik. Sebaik-baiknya istri, apabila dipandang suaminya menyenangkan, bila diperintah ia taat, bila suami tidak ada, ia jaga harta suaminya dan ia jaga kehormatan dirinya” (Al Hadits)
“Tiga golongan yang berhak ditolong oleh Allah : a. Orang yang berjihad / berperang di jalan Allah. b. Budak yang menebus dirinya dari tuannya. c. Pemuda / i yang menikah karena mau menjauhkan dirinya dari yang haram” (HR. Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Hakim)
“Wahai generasi muda ! Bila diantaramu sudah mampu menikah hendaklah ia nikah, karena mata akan lebih terjaga, kemaluan akan lebih terpelihara” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud)
“Kawinlah dengan wanita yang mencintaimu dan yang mampu beranak. Sesungguhnya aku akan membanggakan kamu sebagai umat yang terbanyak” (HR. Abu Dawud)
“Saling menikahlah kamu, saling membuat keturunanlah kamu, dan perbanyaklah (keturunan). Sesungguhnya aku bangga dengan banyaknya jumlahmu di tengah umat yang lain” (HR. Abdurrazak dan Baihaqi)
“Seburuk-buruk kalian, adalah yang tidak menikah, dan sehina-hina mayat kalian, adalah yang tidak menikah” (HR. Bukhari)
“Diantara kamu semua yang paling buruk adalah yang hidup membujang, dan kematian kamu semua yang paling hina adalah kematian orang yang memilih hidup membujang” (HR. Abu Ya¡¦la dan Thabrani)
“Dari Anas, Rasulullah SAW. pernah bersabda : Barang siapa mau bertemu dengan Allah dalam keadaan bersih lagi suci, maka kawinkanlah dengan perempuan terhormat” (HR. Ibnu Majah,dhaif)
“Rasulullah SAW bersabda : Kawinkanlah orang-orang yang masih sendirian diantaramu. Sesungguhnya, Allah akan memperbaiki akhlak, meluaskan rezeki, dan menambah keluhuran mereka” (Al Hadits)
“Barangsiapa yang menikahkan (putrinya) karena silau akan kekayaan lelaki meskipun buruk agama dan akhlaknya, maka tidak akan pernah pernikahan itu dibarakahi-Nya, Siapa yang menikahi seorang wanita karena kedudukannya, Allah akan menambahkan kehinaan kepadanya, Siapa yang menikahinya karena kekayaan, Allah hanya akan memberinya kemiskinan, Siapa yang menikahi wanita karena bagus nasabnya, Allah akan menambahkan kerendahan padanya, Namun siapa yang menikah hanya karena ingin menjaga pandangan dan nafsunya atau karena ingin mempererat kasih sayang, Allah senantiasa memberi barakah dan menambah kebarakahan itu padanya” (HR. Thabrani)
“Janganlah kamu menikahi wanita karena kecantikannya, mungkin saja kecantikan itu membuatmu hina. Jangan kamu menikahi wanita karena harta / tahtanya mungkin saja harta / tahtanya membuatmu melampaui batas. Akan tetapi nikahilah wanita karena agamanya. Sebab, seorang budak wanita yang shaleh, meskipun buruk wajahnya adalah lebih utama” (HR. Ibnu Majah)
“Dari Jabir r.a., Sesungguhnya Nabi SAW. telah bersabda : Sesungguhnya perempuan itu dinikahi orang karena agamanya, kedudukan, hartanya, dan kecantikannya ; maka pilihlah yang beragama” (HR. Muslim dan Tirmidzi)
“Wanita yang paling agung barakahnya, adalah yang paling ringan maharnya” (HR. Ahmad, Al Hakim, Al Baihaqi dengan sanad yang shahih)
“Jangan mempermahal nilai mahar. Sesungguhnya kalau lelaki itu mulia di dunia dan takwa di sisi Allah, maka Rasulullah sendiri yang akan menjadi wali pernikahannya.” (HR. Ashhabus Sunan)
“Sesungguhnya berkah nikah yang besar ialah yang sederhana belanjanya (maharnya)” (HR. Ahmad)
“Dari Anas, dia berkata : ” Abu Thalhah menikahi Ummu Sulaim dengan mahar berupa keIslamannya” (Ditakhrij dari An Nasa’i)
“Adakanlah perayaan sekalipun hanya memotong seekor kambing.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Semoga artikel sederhana yang mencoba untuk mengarahkan umat islam agar mengutamakan menikah ini dapat memberikan semangat terhadap ruh-ruh pemuda islam yang kini masih bimbang untuk mengedepankan pernikahan. Dan menjadi suplemen bagi rekan-rekan muslim yang telah memilih menikah sebagai jalan utamanya untuk menjaga kehormatan dan menghindarkan diri dari fitnah yang terbesar, syahwat.
http://go2.wordpress.com/?id=725X1342&site=naunganislami.wordpress.com&url=http%3A%2F%2Fwww.syahadat.com%2Fislam%2Fdalil%2F109-pernikahan&sref=http%3A%2F%2Fnaunganislami.wordpress.com%2F2009%2F05%2F11%2Fpernikahan%2F%23more-420

Shalat Istikharah


Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَلِّمُنَا الِاسْتِخَارَةَ فِي الْأُمُورِ كُلِّهَا كَمَا يُعَلِّمُنَا السُّورَةَ مِنْ الْقُرْآنِ يَقُولُ إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالْأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ لِيَقُلْ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلَا أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلَا أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي أَوْ قَالَ عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ فَاقْدُرْهُ لِي وَيَسِّرْهُ لِي ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ وَاقْدُرْ لِي الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِي قَالَ وَيُسَمِّي حَاجَتَهُ“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajari kami istikharah dalam setiap urusan yan kami hadapi sebagaimana beliau mengajarkan kami suatu surah dari Al-Qur’an. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika seorang dari kalian menghadapi masalah maka ruku’lah (shalat) dua raka’at yang bukan shalat wajib kemudian berdo’alah: Allahumma inniy astakhiiruka bi ‘ilmika wa astaqdiruka biqudratika wa as-aluka min fadhlikal ‘azhim, fainnaka taqdiru wa laa aqdiru wa ta’lamu wa laa ‘Abdullah’lamu wa anta ‘allaamul ghuyuub. Allahumma in kunta ta’lamu anna haadzal amru khairul liy fiy diiniy wa aku ma’aasyiy wa ‘aafiyati amriy” atau; ‘Aajili amriy wa aajilihi faqdurhu liy wa yassirhu liy tsumma baarik liy fiihi. Wa in kunta ta’lamu anna haadzal amru syarrul liy fiy diiniy wa ma’aasyiy wa ‘aafiyati amriy” aw qaola; fiy ‘aajili amriy wa aajilihi fashrifhu ‘anniy washrifniy ‘anhu waqdurliyl khaira haitsu kaana tsummar dhiniy.” (Ya Allah aku memohon pilihan kepada-Mu dengan ilmuMu dan memohon kemampuan dengan kekuasaan-Mu dan aku memohon karunia-Mu yang Agung. Karena Engkau Maha Mampu sedang aku tidak mampu, Engkau Maha Mengetahui sedang aku tidak mengetahui, Engkaulah yang Maha Mengetahui perkara yang gaib. Ya Allah bila Engkau mengetahui bahwa urusan ini baik untukku, bagi agamaku, kehidupanku dan kesudahan urusanku ini -atau beliau bersabda: di waktu dekat atau di masa nanti- maka takdirkanlah buatku dan mudahkanlah kemudian berikanlah berkah padanya. Namun sebaliknya ya Allah, bila Engkau mengetahui bahwa urusan ini buruk untukku, bagi agamaku, kehidupanku dan kesudahan urusanku ini -atau beliau bersabda: di waktu dekat atau di masa nanti- maka jauhkanlah urusan dariku dan jauhkanlah aku darinya. Dan tetapkanlah buatku urusan yang baik saja dimanapun adanya kemudian jadikanlah aku ridha dengan ketetapan-Mu itu”. Beliau bersabda: “Dia sebutkan urusan yang sedang diminta pilihannya itu”. (HR. Al-Bukhari no. 1162)
Cara menyebutkan urusannya misalnya: Ya Allah, jika engkau mengetahui bahwa safar ini atau pernikahan ini atau usaha ini atau mobil ini baik bagiku …, dan seterusnya.
Penjelasan ringkas:
Sesungguhnya manusia adalah makhluk yang sangat lemah, mereka sangat membutuhkan bantuan dari Allah Ta’ala dalam semua urusan mereka. Hal itu karena dia tidak mengetahui hal yang ghaib sehingga dia tidak bisa mengetahui mana amalan yang akan mendatangkan kebaikan dan mana yang akan mendatangkan kejelekan bagi dirinya. Karenanya, terkadang seseorang hendak mengerjakan suatu perkara dalam keadaan dia tidak mengetahui akibat yang akan lahir dari perkara tersebut atau hasilnya mungkin akan meleset dari perkiraannya. Oleh karena itulah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mensyariatkan adanya istikharah, yaitu permintaan kepada Allah agar Dia berkenan memberikan hidayah kepadanya menuju kepada kebaikan. Yang mana doa istikharah ini dipanjatkan kepada Allah setelah dia mengerjakan shalat sunnah dua rakaat.
Allah Ta’ala berfirman:
وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ سُبْحَانَ اللَّهِ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ. وَرَبُّكَ يَعْلَمُ مَا تُكِنُّ صُدُورُهُمْ وَمَا يُعْلِنُونَ.  وَهُوَ اللَّهُ لا إِلَهَ إِلَّا هُوَ لَهُ الْحَمْدُ فِي الْأُولَى وَالْآخِرَةِ وَلَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Dan Rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia). Dan Tuhanmu mengetahui apa yang disembunyikan (dalam) dada mereka dan apa yang mereka nyatakan. Dan Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, bagi-Nyalah segala puji di dunia dan di akhirat, dan bagi-Nyalah segala penentuan dan hanya kepada-Nyalah kalian dikembalikan.” (QS. Al-Qashash: 68-70)
Imam Muhammad bin Ahmad Al-Qurthuby rahimahullah berkata, “Sebagian ulama mengatakan: Tidak sepantasnya bagi seseorang untuk mengerjakan suatu urusan dari urusan-urusan dunia kecuali setelah dia meminta pilihan kepada Allah dalam urusan tersebut. Yaitu dengan dia shalat dua rakaat shalat istikharah.” (Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur`an: 13/202)
Shalat istikharah termasuk dari shalat-shalat sunnah berdasarkan kesepakatan para ulama. Al-Hafizh Al-Iraqi berkata -sebagaimana dalam Fath Al-Bari (11/221-222), “Saya tidak mengetahui ada ulama yang berpendapat wajibnya shalat istikharah.”
Faidah:
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Al-Fath (11/220), “Ibnu Abi Hamzah berkata: Amalan yang wajib dan yang sunnah tidak perlu melakukan istikharah dalam melakukannya, sebagaiman yang haram dan makruh tidak perlu melakukan istikharah dalam meninggalkannya. Maka urusan yang butuh istikharah hanya terbatas pada perkara yang mubah dan dalam urusan yang sunnah jika di depannya ada dua amalan sunnah yang hanya bisa dikerjakan salah satunya, mana yang dia kerjakan lebih dahulu dan yang dia mencukupkan diri dengannya.” Maka janganlah sekali-kali kamu meremehkan suatu urusan, akan tetapi hendaknya kamu beristikharah kepada Allah dalam urusan yang kecil dan yang besar, yang mulia atau yang rendah, dan pada semua amalan yang disyariatkan istikharah padanya. Karena terkadang ada amalan yang dianggap remeh akan tetapi lahir darinya perkara yang mulia.”
Berikut beberapa permasalahan yang sering ditanyakan berkenaan dengan istikharah:
1.    Apakah boleh istikharah dengan doa selain doa di atas atau dengan bahasa Indonesia?
Jawab: Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu berkata dalam hadits di atas, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajari kami istikharah dalam setiap urusan yan kami hadapi sebagaimana beliau mengajarkan kami suatu surah dari Al-Qur’an.”Ucapan ini menunjukkan bahwa dalam istikharah seseorang hanya boleh membaca doa di atas sesuai dengan konteks aslinya, tidak boleh ada penambahan dan tidak boleh juga ada pengurangan. Hal itu karena Nabi shallallahu alaihi wasallam menyerupakan pengajaran istikharah seperti pengajaran surah Al-Qur`an. Maka sebagaimana suatu ayat dalam Al-Qur`an tidak boleh ditambah atau dikurangi atau dirubah maka demikian halnya dengan doa istikharah. Karenanya tidak boleh berdoa dengan membaca terjemahannya semata, tapi dia harus membacanya sebagaimana Nabi mengajarkannya.
Barangsiapa yang berdoa dengan terjemahannya maka dia tidak teranggap melakukan istikharah, akan tetapi dia hanya dianggap sedang berdoa kepada Allah. Hal ini telah diisyaratkan oleh Muhammad bin Abdillah bin Al-Haaj Al-Maliki rahimahullah dalam Al-Madkhal (4/37-38)
2.    Apakah boleh langsung berdoa dengan doa di atas tanpa melakukan shalat sebelumnya?
Jawab: Wallahu a’lam, yang nampak bahwa 2 rakaat dengan doa ini merupakan satu kesatuan dalam istikharah. Karenanya barangsiapa yang hanya berdoa tanpa mengerjakan shalat maka dia tidak dianggap mengerjakan istikharah yang tersebut dalam hadits ini. Walaupun dia tetap dianggap sebagai orang yang berdoa kepada Allah.
Akan tetapi jika dia ada uzur dalam mengerjakan shalat -misalnya wanita yang tengah haid atau nifas-, maka dia boleh langsung berdoa dan itu sudah dianggap sebagai istikharah karenanya adanya uzur untuk tidak mengerjakan shalat. Ini merupakan mazhab Al-Hanafiah, Al-Malikiah, dan Asy-Syafi’iyah.
Imam An-Nawawi berkata dalam Al-Adzkar hal. 112, “Jika dia tidak bisa mengerjakan shalat karena ada uzur, maka hendaknya dia cukup beristikharah dengan doa.”
3.    Apakah dua rakaat ini merupakan shalat khusus, ataukah berlaku untuk semua shalat sunnah dua rakaat?
Jawab: Lahiriah hadits menunjukkan ini merupakan shalat dua rakaat khusus dengan niat untuk istikharah. Hanya saja jika seseorang shalat sunnah rawatib dengan niat rawatib sekaligus niat istikharah (menggabungkan niat), maka itu sudah cukup baginya dan dia sudah boleh langsung berdoa setelahnya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Jika dia meniatkan shalat itu dengan niatnya dan dengan niat shalat istikharah secara bersamaan (menggabungkan niatnya, pent.) maka shalatnya itu sudah syah dianggap sebagai istikharah, berbeda halnya jika dia tidak meniatkannya (sebagai shalat istikharah).” (Fath Al-Bari: 11/221)
Sekedar menguatkan isi hadits, bahwa dua rakaat yang dimaksud haruslah merupakan shalat sunnah. Karenanya shalat subuh tidak bisa diniatkan sebagai shalat istikharah karena dia merupakan shalat wajib.
4.    Adakah surah khusus yang disunnahkan untuk dibaca dalam shalat istikharah?
Jawab: Al-Hafizh Al-Iraqi rahimahullah berkata, “Saya tidak menemukan sedikitpun dalam jalan-jalan hadits istikharah adanya penentuan surah tertentu yang dibaca di dalamnya.” (Umdah Al-Qari`: 7/235)
Inilah pendapat yang benar karena tidak ada satupun dalil yang menunjukkan adanya surah tertentu yang lebih utama dibaca dalam shalat istikharah. Sementara tidak boleh menentukan lebih utamanya suatu surah dibandingkan yang lainnya dari sisi bacaan kecuali dengan dalil yang shahih.
5.    Bagi yang tidak menghafal doanya, apakah dia bisa membacanya dari sebuah buku?
Jawab: Yang jelas, yang pertama kita katakan: Hendaknya dia berusaha semaksimal mungkin untuk menghafalnya.
Jika dia tidak sanggup, maka Allah tidak membebani seseorang kecuali dengan kemampuannya. Dalam keadaan seperti ini dia diperbolehkan membaca doa ini dengan melihat kepada kitab atau catatannya. Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab ketika diajukan pertanyaan yang senada dengan di atas, “Jika engkau menghafal doa istikharah atau engkau membacanya dari kitab, maka tidak ada masalah. Hanya saja kamu wajib bersungguh-sungguh dalam berkonsentrasi dan khusyu’ kepada Allah serta jujur dalam berdoa.” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah: 8/161)
6.    Bolehkah shalat istikharah pada waktu yang terlarang shalat?
Jawab: Jika shalat istikharahnya masih bisa ditunda hingga keluar dari waktu yang terlarang maka inilah yang lebih utama dia kerjakan. Akan tetapi shalat istikharah ini tidak bisa diundur atau dia butuhkan saat itu juga, maka dia boleh mengerjakannya saat itu juga walaupun pada waktu yang terlarang. Karena jika shalat istikharah itu dibutuhkan secepatnya, maka jadilah dia shalat sunnah yang disyariatkan karena adanya sebab, sementara sudah dimaklumi bahwa waktu-waktu terlarang shalat ini tidak berlaku pada shalat-shalat sunnah yang mempunyai sebab, seperti tahiyatul masjid, shalat sunnah wudhu, dan semacamnya.
Bolehnya shalat sunnah yang mempunyai sebab dikerjakan pada waktu-waktu terlarang merupakan mazhab Imam Asy-Syafi’i dan sebuah riwayat dari Imam Ahmad, serta pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah. (Lihat Majmu’ Al-Fatawa: 23/210-215)
7.    Apa yang dia lakukan setelah istikharah?
Jawab: Sebelumnya butuh diingatkan bahwa sebelum melakukan istikharah hendaknya dia mengosongkan hatinya dari kecondongan kepada salah satu urusan dari dua urusan yang dia akan mintai pilihan (tidak berpihak kepada satu pilihan). Akan tetapi hendaknya dia melepaskan diri dari semua pilihan tersebut dan betul-betul pasrah menyerahkan nasibnya dan pilihannya kepada Allah Ta’ala.
Imam Al-Qurthuby berkata, “Para ulama menyatakan: Hendaknya dia mengosongkan hatinya dari semua pikiran (berkenaan dengan urusan yang akan dia hadapi) agar hatinya tidak condong kepada salah satu urusan (sebelum dia istikharah).” (Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur`an: 13/206)
Kemudian, setelah dia melakukan istikharah, maka hendaknya dia memilih untuk mengerjakan apa yang hendak dia lakukan dari urusan yang tadinya dia minta pilihan padanya. Jika urusan itu merupakan kebaikan maka insya Allah Allah akan memudahkannya dan jika itu merupakan kejelekan maka insya Allah Allah akan memalingkannya dari urusan tersebut.
Muhammad bin Ali Az-Zamlakani rahimahullah berkata, “Jika seseorang sudah shalat istikharah dua rakaat untuk suatu urusan, maka setelah itu hendaknya dia mengerjakan urusan yang dia ingin kerjakan, baik hatinya lapang/tenang dalam mengerjakan urusan itu ataukah tidak, karena pada urusan tersebut terdapat kebaikan walaupun mungkin hatinya tidak tenang dalam mengerjakannya.” Dan beliau juga berkata, “Karena dalam hadits (Jabir) tersebut tidak disebutkan adanya kelapangan/ketenangan jiwa.” (Thabaqat Asy-Syafi’iah Al-Kubra: 9/206) Maksudnya: Dalam hadits Jabir di atas tidak disebutkan bahwa hendaknya dia mengerjakan apa yang hatinya tenang dalam mengerjakannya, wallahu a’lam.
Karenanya, termasuk khurafat adalah apa yang diyakini oleh sebagian orang bahwa: Siapa yang sudah melakukan istikharah maka dia tidak melakukan apa-apa hingga mendapatkan mimpi yang baik atau mimpi yang akan mengarahkannya dan seterusnya. Ini sungguh merupakan perbuatan orang yang jahil tatkala dia menyandarkan urusannya pada sebuah mimpi, wallahul musta’an.
8.    Jika hatinya masih ragu-ragu atau hatinya belum mantap dalam mengerjakan urusan yang tadinya dia sudah beristikharah untuknya. Apakah dia boleh mengulangi shalat istikharahnya?
Jawab: Boleh berdasarkan beberapa dalil di antaranya:
1.    Istikharah merupakan doa, dan di antara kebiasaan Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam berdoa adalah mengulanginya sebanyak tiga kali.
Hadits ini kami bawakan bukan untuk menunjukkan shalat istikharah diulang sebanyak tiga kali, akan tetapi hanya untuk menunjukkan bolehnya mengulangi doa.
2.    Shalat istikharah adalah shalat yang disyariatkan karena adanya sebab. Karenanya, selama sebab itu masih ada dan belum hilang maka tetap disyariatkan mengerjakan shalat ini.
Inilah yang dipilih oleh sejumlah ulama di antanya: Imam Badruddin Al-Aini dalam Umdah Al-Qari` (7/235), Ali Al-Qari dalam Mirqah Al-Mafatih (3/406), dan Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Authar (3/89).
9.    Haruskah shalat istikharah dikerjakan di malam hari?
Jawab: Dalam hadits di atas tidak ada keterangan waktu pengerjaannya. Karena shalat ini bisa dikerjakan kapan saja baik siang maupun malam hari. Barangsiapa yang meyakini shalat ini hanya bisa dikerjakan di malam hari maka keyakinannya ini keliru. Walaupun tentunya jika dia mengerjakannya pada waktu-waktu dimana doa mustajabah -seperti antara azan dan iqamah, sepertiga malam terakhir, dan seterusnya-, maka itu lebih utama.
Demikian beberapa pertanyaan yang sempat hadir dalam ingatan kami, jika ada pertanyaan lain silakan dituliskan pada kolom komentar.
[Rujukan utama: Kasyf As-Sitarah 'an Shalah Al-Istikharah]
http://al-atsariyyah.com/fiqh/shalat-istikharah.html

Mengutamakan Menikah dengan Wanita yang Shalihah dan Sebaliknya

Oleh: Ummu ‘Abdillah Al Wadi’iyyah Hafizhahallahu

Al-Bukhari rahimahullâh berkata (9/132): Musaddad mengabarkan kepada kami, dia berkata: Yahya mengabarkan kepada kami dari dari ‘Ubaidillah, ia berkata: Sa’id bin Abi Sa’id mengabarkan kepadaku dari bapaknya, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَجَمَالِهَا، وَلِدِينِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Wanita itu dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, kemuliaan nasabnya, kecantikannya, dan karena agamanya. Maka nikahilah wanita yang baik agamanya niscaya kamu beruntung.”

Hadits tersebut diriwayatkan pula oleh Al-Imam Muslim (2/1086).
Makna hadits tersebut adalah bahwa dalam memilih wanita sebagai istri, manusia terbagi menjadi empat bagian:
1. Di antara mereka ada yang menyukai wanita yang memiliki agama dan berharta.
2. Ada yang menyukai wanita yang memiliki nasab mulia.
3. Ada yang menyukai wanita berwajah rupawan.
4. Dan yang menyukai wanita yang baik agamanya.
Memilih wanita hanya karena hartanya, jika wanita tersebut tidak berhias dengan ketaqwaan, maka hal ini tidak sepantasnya dilakukan. Karena dengan kondisinya itu, dia menginginkan untuk memiliki kebebasan yang mutlak. Suaminya menjadi budaknya, dan dia akan membanggakan dirinya di hadapan suaminya. Tindak tanduknya menunjukkan hal itu, bahkan terkadang juga ucapannya.
أَيُّهَا المنْكِحُ الثُّرَيَّا سُهَيْلا عَمْرَكَ اللهُ كَيْفَ يَلْتَقِيَانِ
هِيَ شَامِيَّةٌ إِذَا مَا اسْتَهَلَّتْ وَسُهَيْلٌ إِذَا اسْتَهَلَّ يَمَانِي
Wahai orang yang menikahkan (bintang) Tsurayya dengan (bintang) Suhail
Aku ingatkan engkau kepada Allah, bagaimana mungkin keduanya bertemu
Tsurayya adalah bintang negeri Syam jika tampak bercahaya
Sedangkan Suhail jika tampak bercahaya adalah bintang Yaman
Demikianlah juga wanita yang bernasab mulia (terpandang). Jika suaminya tidak setara dengannya dalam hal nasab, dia akan membanggakan dirinya di hadapannya jika tidak berhias dengan ketaqwaan. Setiap saat, wanita itu akan menyebut-nyebut nasabnya yang mulia dan berkata:
وَمَا هِنْدُ إِلا مُهْرَةً عَرَبِيَّةً سُلالَةَ أَفْرَاسٍ تَخَلَّلَهَا بَغْلُ
فَإِنْ وَلَدَتْ فَحْلا فَمِنْ طِيبِ أَصْلِهَا وَإِنْ وَلَدَتْ بَغْلا فَمِنْ ذَلِكَ البَغْلُ
Tiadalah Hindun melainkan anak kuda Arab
Keturunan kuda yang dicampuri baghal (peranakan kuda dengan keledai)
Jika dia melahirkan anak kuda jantan, maka asalnya dari nasab yang baik
Jika dia melahirkan baghal, maka asalnya dari baghal itu
Demikian juga wanita yang berwajah rupawan. Dia akan membanggakan dirinya di hadapan suaminya jika dia tidak berhias dengan ketakqwaan. Dan wanita yang dianjurkan Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam untuk dipilih adalah yang memiliki agama yang baik.
Hal ini bukan berarti seorang laki-laki hendaknya berpaling dari wanita yang berharta, rupawan dan bernasab mulia. Namun maksudnya adalah agar dia tidak menjadikan hal-hal tersebut sebagai tolak ukur sehingga lebih mengutamakannya daripada wanita yang memiliki agama yang baik. Adapun seandainya semua hal tersebut terkumpul dengan kebaikan agama, maka yang demikian lebih bagus.
Wanita yang baik agamanya adalah wanita yang bertaqwa. Dia senantiasa melaksanakan perkara-perkara yang telah Allah Subhânahu wa Ta’âlâ wajibkan dan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Sebagaimana firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ:
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ
“Sebab itu maka wanita yang shalihah, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).” (An-Nisaa’: 34)
Dia akan menjaga dirinya dan harta suaminya. Dia tidak akan keluar kecuali dengan izin suaminya, dan mengetahui hak-haknya tanpa melampaui batas.
Sudah dimaklumi, meskipun dia adalah wanita yang baik agamanya, namun pastilah dia tidak akan mampu menyempurnakan tugas-tugasnya. Karena wanita adalah makhluk yang kurang akal dan agamanya. Tetapi hal ini tidak ada artinya jika dibandingkan dengan keshalihannya. Ini perkara yang tidak sepantasnya diabaikan.
Sungguh Allah Subhânahu wa Ta’âlâ telah menyebut-nyebut kenikmatan yang Dia anugerahkan kepada Zakaria hamba-Nya, dengan firman-Nya Subhânahu wa Ta’âlâ:
فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَوَهَبْنَا لَهُ يَحْيَى وَأَصْلَحْنَا َهُ زَوْجَهُ
“Maka Kami mengabulkan doanya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami memperbaiki istrinya.” (Al-Anbiyaa’: 90)
Menurut salah satu penafsiran, yang dimaksudkan adalah dari sisi fisik dan agama.
Sebagian ahli tafsir mengatakan, maksudnya yaitu istrinya dapat melahirkan meskipun sebelumnya mandul. Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullâh menganggap kuat[1] tafsir ini, karena konteks ayat tersebut menunjukkan hal itu.
Demikian juga wanita. Dia harus memilih laki-laki yang shalih. Betapa banyak wanita yang shalihah, akan tetapi tidak memilih laki-laki yang shalih. Dia menikah dengan laki-laki yang hina, lalu laki-laki itu menyeretnya kepada pemikiran dan kehinaannya.
Dan terkadang laki-laki terpengaruh pemikiran istrinya, sebagaimana yang terjadi pada ‘Imran bin Haththan. Dia menikahi anak pamannya dengan tujuan menyelamatkannya dari pemikiran Khawarij. Namun istrinya justru menyeretnya kepada pemikiran itu.
Jika demikian halnya dengan laki-laki, terlebih lagi wanita. Karena wanita pada umumnya lebih cepat berubah dan berpindah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain. Kita memohon kepada Allah Subhânahu wa Ta’âlâ ketetapan hati kita. Teman dekat itu akan mempengaruhi temannya. Oleh karena itulah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih teman yang baik.
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman:
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَوةِ وَالْعَشِىِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلاَ تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَوةِ الدُّنْيَا وَلاَ تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan senja hari dengan mengharapkan keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (Al-Kahfi: 28)
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang jujur.” (At-Taubah: 119)
Sungguh baik orang yang mengatakan:
مَا عَاتَبَ الْمَرْءَ الْكَرِيمَ كَنَفْسِهِ
وَالْمَرْءُ يُصْلِحُهُ الْجَلِيسُ الصَّالِحُ
Seorang yang mulia tidaklah dicela oleh orang yang sepertinya
Dan seseorang akan diperbaiki oleh kawan duduknya yang baik
Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari hadits Abu Musa radhiyallâhu ‘anhu, dia berkata: “Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَثَلُ الجَلِيسِ الصَّالِحِ وَجَلِيْس السَّوْءِ؛ كَحَامِلِ المِسْكِ وَنَافِخِ الكِيرِ؛ فَحَامِلُ المِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحذِيَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ؛ وَنَافِخُ الكِيْرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ؛ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيْحًا مُنْتِنَة
“Perumpamaan teman yang baik dan teman yang jelek itu seperti penjual minyak wangi dengan tukang besi yang meniup alat peniup api. Penjual minyak wangi akan memberikan minyak wangi kepadamu atau engkau akan membelinya. Sedangkan tukang besi akan membakar bajumu atau engkau akan mencium bau yang busuk darinya.”
Ketika Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada pamannya Abu Thalib menjelang kematiannya:
يَا عَمِّ! قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللهِ
“Wahai paman, ucapkanlah laa ilaaha illallaah, sebuah kalimat yang aku akan berhujjah untukmu dengannya di sisi Allah.”
Abu Jahl dan ‘Abdullah bin Abi Umayyah mengatakan: “Apakah kamu membenci agama ‘Abdul Muththalib?” Abu Thalib pun mengatakan bahwa dia di atas agama ‘Abdul Muththalib. Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Al-Musayyib bin Huzun radhiyallâhu ‘anhu.
Dari sini (diambil pelajaran) bahwa teman-teman duduk yang jelek itulah yang menghalangi Abu Thalib dari Islam.
Dan Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda sebagaimana dalam Sunan Abi Dawud (no. 4833) dari hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu:
الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيْلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang itu sesuai Dien temannya. Maka hendaklah salah seorang di antara kalian melihat siapa temannya.”
Seorang penya’ir berkata:
عَنِ المَرْءِ لاَ تَسْأَلْ وَسَلْ عَنْ قَرِينِهِ
فَكُلُّ قَرِينٍ بِالمُقَارَنِ يَقْتَدِي
Janganlah kau bertanya tentang seseorang, tapi tanyakanlah siapa temannya
Karena setiap teman akan mencontoh teman-temannya
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman tentang keadaan penduduk Jannah:
فَأَقْبَلَ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ يَتَسَاءَلُونَ* قَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ إِنِّى كَانَ لِى قَرِينٌ* يَقُولُ أَءِنَّكَ لَمِنَ الْمُصَدَّقِينَ* أَءِذَا مِتْنَا وَكُنَّا تُرَابًا وَعِظَامًا أَءِنَّا لَمَدِينُونَ* قَالَ هَلْ أَنْتُمْ مُطَّلِعُونَ* فَاطَّلَعَ فَرَءَاهُ فِى سَوَاءِ الْجَحِيمِ
“Lalu sebagian mereka menghadap kepada sebagian yang lain sambil bercakap-cakap, berkatalah salah seorang di antara mereka: ‘Sesungguhnya aku dahulu (di dunia) mempunyai seorang teman yang berkata: ‘Apakah engkau sungguh-sungguh termasuk orang-orang yang membenarkan (hari berbangkit)? Apakah bila kita telah mati dan kita telah menjadi tanah dan tulang belulang, apakah sesungguhnya kita benar-benar (akan dibangkitkan) untuk diberi pembalasan?’ Orang tersebut juga berkata: ‘Maukah kalian meninjau (temanku itu)?’ Maka dia meninjaunya, lalu dia melihat temannya itu berada di tengah neraka yang menyala-nyala.’” (Ash-Shaaffaat: 50-55)
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ juga berfirman:
وَقَيَّضْنَا لَهُمْ قُرَنَاءَ فَزَيَّنُوا لَهُمْ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَحَقَّ عَلَيْهِمُ الْقَولُ فِي أُمَمٍ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِمْ مِنَ الْجِنِّ وَالإِنْسِ إِنَّهُمْ كَانُوا خَاسِرِينَ
“Dan kami tetapkan bagi mereka teman-teman yang menjadikan mereka memandang bagus apa yang ada di hadapan dan di belakang mereka. Dan tetaplah atas mereka keputusan adzab pada umat-umat yang terdahulu sebelum mereka dari jin dan manusia. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang merugi.” (Fushshilat: 25)
Wanita yang baik agamanya akan mencintai lelaki yang baik agamanya pula. Dan wanita yang sebaliknya akan mencintai lelaki yang sebaliknya pula. Sebagaimana sabda Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam:
الأَرْوَاحُ جُنُوْدٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَا مِنْهَا اخْتَلَفَ
“Ruh-ruh itu seperti tentara yang berhimpun yang saling berhadapan. Apabila mereka saling mengenal (sifatnya, kecenderungannya dan sama-sama sifatnya) maka akan saling bersatu, dan apabila saling berbeda maka akan tercerai-berai.”
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu dan diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 3336 secara mu’allaq dari ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anha.
Al-Imam An-Nawawi mengatakan dalam Syarah Muslim (16/pada hadits no. 2638): “Para ulama mengatakan, maknanya mereka adalah sekelompok manusia yang berkumpul atau manusia yang bermacam-macam lagi berbeda-beda. Ruh-ruh itu saling mengenal karena suatu perkara yang Allah Subhânahu wa Ta’âlâ menciptakan ruh-ruh itu di atasnya. Ada yang mengatakan, karena mereka dijadikan Allah Subhânahu wa Ta’âlâ di atas sifat-sifat yang saling mencocoki dan tabiat yang saling bersesuaian. Ada yang mengatakan, karena mereka diciptakan secara bersama kemudian jasad mereka saling berpisah, sehingga yang mencocoki tabiat yang lain, dia akan bersatu dengannya. Dan yang saling berjauhan[2] tabiatnya maka dia akan lari dan menyelisihinya. Al-Khaththabi dan lainnya berkata bahwa persatuan mereka adalah kebahagiaan atau kesengsaraan ketika Allah Subhânahu wa Ta’âlâ menciptakan mereka pada awalnya. Dan ruh-ruh itu terbagi menjadi dua kelompok yang saling berlawanan, jika jasad-jasad itu saling bertemu di dunia maka mereka akan bersatu atau berselisih sesuai yang mereka diciptakan di atasnya. Sehingga orang yang baik cenderung kepada orang yang baik, dan orang yang jahat juga cenderung kepada orang yang jahat. Wallahu a’lam.
Dan di dalam suatu permisalan:
وكل من شكله يرغب
Setiap orang yang memiliki persamaan bentuk dengan orang lain, maka dia akan mencintainya
Dalam permisalan yang lain:
إن الطيور على أشكالها تقع
فكل يرغب في مثله
Sesungguhnya burung-burung itu akan bertengger bersama burung yang sama bentuknya
Sehingga setiap orang akan mencintai yang semisal dengannya
Hadits lain yang menganjurkan menikah dengan wanita yang shalihah adalah sbb.:
Al-Imam Muslim rahimahullâh berkata:
Muhammad bin ‘Abdillah bin Numair Al-Hamdani mengabarkan kepadaku, dia berkata: ‘Abdullah bin Yazid mengabarkan kepada kami, dia berkata: Haiwah mengabarkan kepada kami, dia berkata: Syarahbil bin Syarik mengabarkan kepadaku bahwa dia mendengar Abu ‘Abdirrahman Al-Hubli menyampaikan hadits dari ‘Abdullah bin Amr bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah.”
Dalam hadits ini terdapat keutamaan yang jelas bagi seorang wanita yang shalihah, dengan Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam menjadikannya sebagai sebaik-baiknya perhiasan di dunia. Dan Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam mengategorikan wanita shalihah sebagai kebahagiaan.
Ibnu Hibban meriwayatkan sebagaimana dalam Al-Ihsan (9/340) dari Sa’d bin Abu Waqqash radhiyallâhu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَرْبَعٌ مِنَ السَّعَادَةِ: الْمَرْأَةُ الصَّالِحَاةُ، وَالْمَسْكَنُ الوَاسِعُ، وَالْجَارُ الصَّالِحُ، وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيءُ. وَأَرْبَعٌ مِنَ الشَّقَاءِ: الْمَرْأَةُ السُّوءُ، وَالْجَارُ السُّوءُ، وَالْمَرْكَبُ السُّوءُ، وَالْمَسْكَنُ الضَّيِّقُ
“Empat perkara yang merupakan kebahagian: seorang wanita (istri) yang shalihah, tempat tinggal yang luas, tetangga yang baik, dan tunggangan (kendaraan) yang nyaman. Dan empat perkara yang merupakan kesengsaraan: seorang wanita yang jelek (agamanya), tetangga yang jelek, tunggangan yang jelek, dan tempat tinggal yang sempit.” (Hadits ini diriwayatkan pula oleh Al-Hakim)
Karena itu, seorang wanita hendaklah punya keinginan besar untuk menjadi wanita yang shalihah dan mempelajari sifat-sifatnya, sehingga dia menjadi bagian dari mereka.Ungkapan ringkas tentang wanita shalihah adalah wanita yang berpegang teguh dengan kitab Rabbnya dan Sunnah Nabi-Nya shallallâhu ‘alaihi wa sallam di atas pemahaman Salafush Shalih.
Sebagaimana firman Rabb kita Yang Maha Agung di atas keagungan-Nya:
وَالَّذِينَ يُمَسِّكُونَ بِالْكِتَابِ وَأَقَامُوا الصَّلَوةَ إِنَّا لاَ نُضِيعُ أَجْرَ الْمُصْلِحِينَ
“Dan orang-orang yang berpegang teguh dengan Al-Kitab serta mendirikan shalat, (akan diberi pahala) karena sesungguhnya Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (Al-A’raaf: 170)
Hanya kepada Allah Subhânahu wa Ta’âlâ kita mengeluh tentang orang-orang yang memiliki sifat keserakahan. Terkadang seorang laki-laki yang mengikuti sunnah lagi bertaqwa datang kepada seorang anak perempuan, namun dia ditolak karena dia tidak memiliki ijazah.
Ada seorang ayah yang menangisi anak perempuannya yang bersikeras menikah dengan lelaki Sunni yang melamarnya. Sang ayah berkata kepadanya: “Aku menginginkan kebaikan dirimu.” Ini merupakan suatu kebodohan yang membinasakannya, ketamakan yang menjadikannya melampaui batas, dan kezhaliman-kezhaliman yang sebagiannya di atas yang lain.
Benarlah Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam ketika bersabda:
إِنَّ أَحْسَابَ أَهْلِ الدُّنْيَا الذي يَذْهَبُ إِلَيهِ الْمَالُ
“Sesungguhnya kemuliaan yang dicenderungi oleh ahli dunia (di dalam pernikahan atau yang lainnya, pent) adalah harta.”[3]
Hadits tersebut diriwayatkan oleh An-Nasa’i dari Buraidah bin Al-Hushaib, dan dishahihkan oleh Ayahanda rahimahullâh dalam Ash-Shahihul Musnad.
Betapa banyak orang yang memiliki memiliki ijazah, namun dia tidak mendapatkan faedah darinya sedikitpun karena birokrasi pemerintah. Betapa banyak orang yang melakukan keharaman dan terjatuh dalam kemaksiatan karena ijazahnya, karena sekolah (yang mengeluarkan ijazah) adalah sekolah yang bersifat ikhtilath (siswa dan siswinya bercampur baur tanpa hijab). Dan terkadang sekolah tidak memberikan toleransi terhadap pakaian syar’i ketika siswi tersebut ke sekolah. Siswa laki-laki diwajibkan mencukur jenggotnya, memakai celana pantalon yang terhitung sebagai tasyabbuh dengan orang-orang kafir, dan lain-lain. Ada sebuah kaset rekaman Ayahanda rahimahullâh berjudul Tahdziru Ad-Daris min Fitnatil Madaris (Peringatan bagi Pelajar tentang Fitnah Sekolah, pent).
Sesungguhnya kemaksiatan itu membahayakan individu dan masyarakat. Berbagai kejadian di alam ini seperti fitnah, kerusakan, kekeringan, dan berkuasanya para musuh, serta kehinaan, adalah disebabkan kemaksiatan.
Allah berfirman:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِى عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Ar-Ruum: 41)
Allah berfirman:
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوا عَنْ كَثِيرٍ
“Dan musibah apapun yang menimpa kalian, maka adalah disebabkan perbuatan tangan kalian sendiri. Dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahan kalian).” (Asy-Syuuraa: 30)
Disebabkan satu kemaksiatan saja, kedua orang tua para manusia -yakni Adam dan Hawa- dikeluarkan dari Surga, sebagaimana yang Allah Subhânahu wa Ta’âlâ sebutkan dalam kitab-Nya yang mulia.
Oleh karena itu, bertaubat dan kembali kepada Allah Subhânahu wa Ta’âlâ harus dilakukan segera, dan tidak boleh menundanya walaupun sekejap mata.
Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا تُوبُوا إِلَى اللهِ تَوْبَةً نَصُوحًا
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya.” (At-Tahriim: 8)
Footnote:
1 Disebutkan dalam kitab Nashihati lin Nisa’ dengan lafazh istazhraha, dan zhahirnya yang tepat adalah istazhharhu. Lihat dalam Tafsir Ibnu Katsir. (-pent)
2 Disebutkan dalam kitab Nashihati lin Nisa’ dengan lafazh ba’ahu (menjualnya). Sedangkan dalam kitab aslinya yaitu Syarah Shahih Muslim karya An-Nawawi disebutkan dengan lafazh ba’adaahu (saling menjauh). Selain itu juga ada kata yang hilang dalam penukilan di kitab ini. Lihat Syarah Shahih Muslim karya An-Nawawi pada Kitab Al-Birr was Shilah, bab Al-Arwah Junudun Mujannadah.
3 Yang tercantum dalam kitab Nashihati lin Nisa’ dengan lafazh al-ladziina. Namun zhahirnya, yang tepat adalah al-ladzii dengan bentuk tunggal, bukan jamak. Karena sesuai dengan zhahir konteks kalimatnya. Hal ini juga yang disebut dalam Sunan An-Nasa’i dan lainnya. (-pent.)
(Sumber: نصيحتي للنساء (Nasehatku Untuk Kaum Wanita) karya Ummu ‘Abdillah Al-Wadi’iyyah, hal. 277-285, penerjemah: Al-Ustadz Muhaimin, penerbit: Pustaka Ar-Rayyan Solo, untuk http://akhwat.web.id dengan tambahan teks Arab dari penerbit Darul Atsar Yaman)


Bekal-Bekal Menuju Pernikahan Sesuai Sunnah Nabi

Oleh : Syaikh Shalih Fauzan Al-Fauzan

Mukadimah
Islam adalah agama yang universal. Agama yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Tidak ada satu persoalan pun dalam kehidupan ini, melainkan telah dijelaskan. Dan tidak ada satu masalah pun, melainkan telah disentuh oleh nilai Islam, kendati masalah tersebut nampak ringan dan sepele. Itulah Islam, Dien yang menebar rahmat bagi semesta alam.
Dalam hal pernikahan, Islam telah berbicara banyak. Dari sejak mencari kriteria calon pendamping hidup, hingga bagaimana cara berinteraksi dengannya tatkala resmi menjadi penyejuk hati. Islam memberikan tuntunan, begitu pula Islam mengarahkan bagaimana panduan menyelenggarakan sebuah pesta pernikahan yang suka ria, namun tetap memperoleh berkah dan tidak menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, demikian pula dengan pernikahan yang sederhana namun tetap ada daya tarik tersendiri. Maka Islam mengajarkannya.
Namun buku ini sebatas membahas tentang manfaat menikah, hal-hal yang berkenaan tentang khitbah (meminang), akad nikah, rukun-rukun, dan syarat-syarat serta pembahasan tentang pesta perkawinan atau walimatul ‘ursy. Semoga kita bisa mengambil manfaat dari pembahasan tersebut.
Manfaat Menikah
Nikah memiliki manfaat yang sangat besar, sebagai berikut :
1. Tetap terpeliharanya jalur keturunan manusia, memperbanyak jumlah kaum
muslimin dan menjadikan orang kafir gentar dengan adanya generasi penerus yang berjihad di jalan Allah dan membela agamanya.
2. Menjaga kehormatan dan kemaluan dari perbuatan zina yang diharamkan lagi merusak tatanan masyarakat.
3. Terealisasinya kepemimpinan suami atas istri dalam hal memberikan nafkah dan penjagaan kepadanya. Allah berfirman (artinya):
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (An Nisa’ : 34)
4. Memperoleh ketenangan dan kelembutan hati bagi suami dan istri serta ketenteraman jiwa mereka.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (Ar-Ruum : 21).
5. Membentengi masyarakat dari prilaku yang keji yang dapat menghancurkan moral serta menghilangkan kehormatan.
6. Terpeliharanya nasab dan jalinan kekerabatan antara yang satu dengan yang lainnya serta terbentuknya keluarga yang mulia lagi penuh kasih sayang, ikatan yang kuat dan tolong-menolong dalam kebenaran.
7. Mengangkat derajat manusia dari kehidupan bak binatang menjadi kehidupan manusiawi yang mulia.
Dan masih banyak manfaat besar lainnya dengan adanya pernikahan yang syar’i, mulia dan bersih yang tegak berlandaskan Al Qur’an dan As Sunnah.
Menikah adalah ikatan syar’i yang menghalalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Berwasiatlah tentang kebaikan kepada para wanita, sesungguhnya mereka bagaikan tawanan di sisi kalian. Kalian telah menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah (akad nikah, pent)”.
Akad nikah adalah ikatan yang kuat antara suami dan istri. Allah berfirman (artinya):
“Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”.(An Nisa’ : 21) yaitu akad (perjanjian) yang mengharuskan bagi pasangan suami istri untuk melaksanakan janjinya.
Allah berfirman (artinya) :
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”. (Al-Maidah : 1)
Khitbah (Meminang)
Rasulullah bersabda:
“Apabila seorang diantara kalian mengkhitbah (meminang) seorang wanita, maka jika dia bisa melihat apa yang mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Dalam hadits lain:
“Lihatlah dia, sebab itu lebih patut untuk melanggengkan diantara kalian berdua” (HR. AtTirmidzi, 1087)
Hadits tersebut menunjukkan bolehnya melihat apa yang lazimnya nampak pada wanita yang dipinang tanpa sepengetahuannya dan tanpa berkhalwat (berduaan) dengannya.
Para ulama berkata: “Dibolehkan bagi orang yang hendak meminang seorang wanita yang kemungkinan besar pinangannya diterima, untuk melihat apa yang lazimnya nampak dengan tidak berkholwat (berduaan) jika aman dari fitnah”.
Dalam hadits Jabir, dia berkata: “Aku (berkeinginan) melamar seorang gadis lalu aku bersembunyi untuk melihatnya sehingga aku bisa melihat darinya apa yang mendorongku untuk menikahinya, lalu aku menikahinya” (HR. Abu Dawud, no. 2082).
Hadits ini menunjukkan bahwa Jabir tidak berduaan dengan wanita tersebut dan si wanita tidak mengetahui kalau dia dilihat oleh Jabir. Dan tidaklah
terlihat dari wanita tersebut kecuali yang biasa terlihat dari tubuhnya. Hal ini rukhsoh (keringanan) khusus bagi orang yang kemungkinan besar pinangannya diterima. Jika kesulitan untuk melihatnya, bisa mengutus wanita yang dipercaya untuk melihat wanita yang dipinang kemudian menceritakan kondisi wanita yang akan dipinang.
Berdasarkan apa yang diriwayatkan bahwa Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Ummu Sulaim untuk melihat seorang wanita (HR. Ahmad).
Barangsiapa yang diminta untuk menjelaskan kondisi peminang atau yang dipinang, wajib baginya untuk menyebutkan apa yang ada padanya dari kekurangan atau hal lainnya, dan itu bukan termasuk ghibah.
Dan diharamkan meminang dengan ungkapan yang jelas (tashrih) kepada wanita yang sedang dalam masa ‘iddah (masa tunggu, yang tidak bisa diruju’ oleh suami atau ditinggal mati suaminya, pent). Seperti ungkapan: “Saya ingin menikahi Anda”. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanitawanita itu dengan sindiran” (QS. 2: 235)
Dan dibolehkan sindiran dalam meminang wanita yang sedang dalam masa
‘iddah. Misalnya dengan ungkapan: “Sungguh aku sangat tertarik dengan
wanita yang seperti anda” atau “Dirimu selalu ada dalam jiwaku”.
Ayat tersebut menunjukkan haramnya tashrih, seperti ungkapan: “Saya ingin menikahi anda” karena tashrih tidak ada kemungkinan lain kecuali nikah. Maka tidak boleh memberi harapan penuh sebelum habis masa
‘iddahnya.
Diharamkan meminang wanita pinangan saudara muslim lainnya. Barangsiapa yang meminang seorang wanita dan diterima pinangannya, maka diharamkan bagi orang lain untuk meminang wanita tersebut
sampai dia diijinkan atau telah ditinggalkan. Berdasarkan sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam: “Janganlah seorang laki-laki meminang wanita
yang telah dipinang saudaranya hingga dia menikah atau telah meninggalkannya” (HR. Bukhari dan Nasa’i).
Dalam riwayat Muslim: “Tidak halal seorang mukmin meminang wanita yang telah dipinang saudaranya hingga dia meninggalkannya”. Dalam hadits Ibnu Umar: “Janganlah kalian meminang wanita yang telah dipinang saudaranya” (Muttafaqun ‘alaih). Dalam riwayat Bukhari: “Janganlah seorang laki-laki meminang di atas pinangan laki-laki lain hingga peminang sebelumnya meninggalkannya atau dengan seijinnya”.
Hadits-hadits tersebut menunjukkan atas haramnya pinangan seorang muslim di atas pinangan saudaranya, karena hal itu menyakiti peminang yang pertama dan menyebabkan permusuhan diantara manusia dan melanggar hak-hak mereka. Jika peminang pertama sudah ditolak atau peminang kedua diijinkan atau dia sudah meninggalkan wanita tersebut, maka boleh bagi peminang kedua untuk meminang wanita tersebut. Sesuai dengan sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam: “Hingga dia diijinkan atau telah ditinggalkan”. Dan ini termasuk kehormatan seorang muslim dan haram untuk merusak kehormatannya.
Sebagian orang tidak peduli dengan hal ini, dia maju untuk meminang seorang wanita padahal dia mengetahui sudah ada yang mendahului meminangnya dan telah diterima oleh wanita tersebut. Kemudian dia melanggar hak saudaranya dan merusak pinangan saudaranya yang telah diterima. Hal ini adalah perbuatan yang sangat diharamkan dan pantas bagi orang yang maju untuk mengkhitbah wanita yang telah didahului oleh saudaranya ini untuk tidak diterima dan dihukum, juga mendapat dosa yang
sangat besar. Maka wajib bagi seorang muslim untuk memperhatikan masalah ini dan menjaga hak saudaranya sesama muslim. Sesungguhnya sangat besar hak seorang muslim atas saudara muslim lainnya. Janganlah meminang wanita yang sudah dipinang saudaranya dan jangan membeli barang yang dalam tawaran saudaranya dan jangan menyakiti saudaranya dengan segala bentuk hal yang menyakitkan.
Akad Nikah, Rukun dan Syarat-Syaratnya
Disunnahkan ketika hendak akad nikah, memulai dengan khutbah sebelumnya yang disebut khutbah Ibnu Mas’ud (khutbatul hajjah, pent) yang disampaikan oleh calon mempelai pria atau orang lain diantara para hadirin. Dan lafadznya sebagai berikut :
“Sesungguhnya segala puji bagi Allah. Kami memujiNya, memohon pertolongan dan ampunan-Nya, serta kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kami dan keburukan amal usaha kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak yang berhak diibadahi melainkan Allah semata, tiada sekutu bagiNya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya”. (HR. Imam yang lima dan Tirmidzi menghasankan hadits ini).
Setelah itu membaca tiga ayat Al-Qur’an berikut ini:
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”. (Ali ‘Imran: 102).
“Hai sekalian manusia bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya, dan daripada keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. (QS. An Nisaa’: 1)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar”. (QS. Al-Ahzab: 70-71).
Adapun rukun-rukun akad nikah ada 3, yaitu:
1. Adanya 2 calon pengantin yang terbebas dari penghalang-penghalang sahnya nikah, misalnya: wanita tersebut bukan termasuk orang yang diharamkan untuk dinikahi (mahram) baik karena senasab, sepersusuan atau karena sedang dalam masa ‘iddah, atau sebab lain. Juga tidak boleh jika calon mempelai laki-lakinya kafir sedangkan mempelai wanita seorang muslimah. Dan sebabsebab lain dari penghalang-penghalang syar’i.
2. Adanya ijab yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikannya dengan mengatakan kepada calon mempelai pria: “Saya nikahkan kamu dengan Fulanah”.
3. Adanya qobul yaitu lafadz yang diucapkan oleh calon mempelai pria atau orang yang telah diberi ijin untuk mewakilinya dengan mengucapkan : “Saya terima nikahnya”.
Syaikhul islam Ibnu Taymiah dan muridnya, Ibnul Qoyyim, menguatkan pendapat bahwa nikah itu sah dengan segala lafadz yang menunjukkan arti nikah, tidak terbatas hanya dengan lafadz Ankahtuka atau Jawwaztuka.
Orang yang membatasi lafadz nikah dengan Ankahtuka atau Jawwaztuka karena dua lafadz ini terdapat dalam Al Qur’an. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia” (QS. Al-Ahzab: 37)
Dan firman-Nya yang lain:
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu” (QS. An-Nisa’:22)
Akan tetapi kejadian yang disebutkan dalam ayat tersebut tidak berarti pembatasan dengan lafadz tersebut (tazwij atau nikah). Wallahu a’lam. Dan akad nikah bagi orang yang bisu bisa dengan tulisan atau isyarat yang dapat difahami. Apabila terjadi ijab dan qobul, maka sah-lah akad nikah tersebut walaupun diucapkan dengan senda gurau tanpa bermaksud menikah (Jika terpenuhi syarat dan tidak ada penghalang sah-nya akad, pent). Karena Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ada 3 hal yang apabila dilakukan dengan main-main maka jadinya sungguhan dan jika dilakukan dengan sungguh-sungguh maka jadinya pun sungguhan. Yaitu: talak, nikah dan ruju’” (HR. Tirmidzi, no. 1184).
Adapun syarat-syarat sahnya nikah ada 4, yaitu:
1. Menyebutkan secara jelas (ta’yin) masing-masing kedua mempelai dan tidak cukup hanya mengatakan: “Saya nikahkan kamu dengan anak saya” apabila mempunyai lebih dari satu anak perempuan. Atau dengan mengatakan: “ Saya nikahkan anak perempuan saya dengan anak lakilaki anda” padahal ada lebih dari satu anak lakilakinya. Ta’yin bisa dilakukan dengan menunjuk langsung kepada calon mempelai, atau menyebutkan namanya, atau sifatnya yang dengan sifat itu bisa dibedakan dengan yang lainnya.
2. Kerelaan kedua calon mempelai. Maka tidak sah jika salah satu dari keduanya dipaksa untuk menikah, sebagaimana hadits Abu Hurairah:
“Janda tidak boleh dinikahkan sehingga dia diminta perintahnya, dan gadis tidak dinikahkan sehingga diminta ijinnya.” Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana ijinnya?”. Beliau menjawab: “Bila ia diam”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Kecuali jika mempelai wanita masih kecil yang belum baligh maka walinya boleh menikahkan dia tanpa seijinnya.
3. Yang menikahkan mempelai wanita adalah walinya. Berdasarkan sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak sah pernikahan kecuali
dengan adanya wali” (HR. Imam yang lima kecuali Nasa’i).
Apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa wali maka nikahnya tidak sah. Di antara hikmahnya, karena hal itu merupakan penyebab terjadinya perzinahan dan wanita biasanya dangkal dalam berfikir untuk memilih sesuatu yang paling maslahat bagi dirinya. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an tentang masalah pernikahan, ditujukan kepada para wali:
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu” (QS. An-Nuur: 32)
“Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka” (QS. Al-Baqoroh: 232)
dan ayat-ayat yang lainnya.
Wali bagi wanita adalah: bapaknya, kemudian yang diserahi tugas oleh bapaknya, kemudian ayah dari bapak terus ke atas, kemudian anaknya yang laki-laki kemudian cucu laki-laki dari anak lakilakinya terus ke bawah, lalu saudara laki-laki sekandung, kemudian saudara laki-laki sebapak, kemudian keponakan laki-laki dari saudara laki-laki sekandung kemudian sebapak, lalu pamannya yang sekandung dengan bapaknya, kemudian pamannya yang sebapak dengan bapaknya, kemudian anaknya paman, lalu kerabat-kerabat yang dekat keturunan nasabnya seperti ahli waris, kemudian orang yang memerdekakannya (jika dulu ia seorang budak, pent), kemudian baru hakim sebagai walinya.
4. Adanya saksi dalam akad nikah, sebagaimana hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Jabir:
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali dan dua orang saksi yang adil (baik agamanya, pent).” (HR. Al-Baihaqi dari Imran dan dari Aisyah, shahih, lihat Shahih Al-Jamius Shaghir oleh Syaikh Al-Albani no. 7557).
Maka tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil.
Imam Tirmidzi berkata: “Itulah yang difahami oleh para sahabat Nabi dan para Tabi’in, dan para ulama setelah mereka. Mereka berkata: “Tidak sah menikah tanpa ada saksi”. Dan tidak ada perselisihan dalam masalah ini diantara mereka. Kecuali dari kalangan ahlu ilmi uta’akhirin
(belakangan)”.
Walimatul ‘Urs (Pesta Perkawinan)
Walimah asalnya berarti sempurnanya sesuatu dan berkumpulnya sesuatu. Dikatakan ﻞﺟﺮﻟﺍ_ ﻭﺃ_ _ (Awlamar Rajulu) jika terkumpul padanya akhlak dan kecerdasannya. Kemudian makna ini dipakai untuk penamaan acara makan-makan dalam resepsi pernikahan disebabkan berkumpulnya mempelai lakilaki dan perempuan dalam ikatan perkawinan. Dan tidak dinamakan walimah untuk selain resepsi pernikahan dari segi bahasa dan istilah fuqoha (para ulama). Padahal ada banyak jenis acara makan-makan yang dibuat dengan sebab-sebab tertentu, tetapi masing-masing memiliki penamaan tersendiri.
Hukum walimatul ‘urs adalah sunnah menurut jumhur ulama. Sebagian ulama mewajibkan walimah karena adanya perintah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam dan wajibnya memenuhi undangan walimah. Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada ‘Abdurrahman bin ‘Auf radiyallahu ‘anhu ketika dia mengkhabarkan bahwa dia telah menikah
“Adakanlah walimah walaupun hanya dengan menyembelih seekor kambing” (HR. Bukhari dan Muslim).
Disamping hal itu, walimah yang seperti di atas tidak lepas dari kejelekan dan kesombongan serta berkumpulnya orang-orang yang biasanya tidak lepas dari kemungkaran. Terkadang walimah ini dilakukan di hotel-hotel yang menyebabkan para wanita tidak menghiraukan lagi pakaian yang menutup aurat, hilangnya rasa malu, bercampurnya wanita dengan laki-laki yang bisa jadi hal ini sebagai penyebab turunnya azab yang besar dari Allah.
Terkadang juga diselingi dalam pesta tersebut musik dan nyanyian yang menyenangkan para seniman, juga fotografer untuk memotret para wanita dan kedua mempelai, disamping menghabiskan harta yang banyak tanpa faedah bahkan dengan cara yang rusak dan menyebabkan kerusakan. Maka bertaqwalah kepada Allah wahai orang-orang yang seperti ini dan takutlah terhadap azab Allah.
Allah berfirman:
“Dan berapa banyaknya (penduduk) negeri yang telah Kami binasakan, yang sudah bersenang-senang dalam kehidupannya” (QS. Al-Qoshosh: 58)
“Makan dan minumlah, dan janganlah berlebihlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orangorang yang berlebih-lebihan” (Al-A’rof: 31)
“Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan” (Al-Baqoroh: 60)
Dan ayat-ayat yang berkaitan dengan ini sangat banyak dan jelas.
Wajib bagi yang diundang untuk menghadiri walimatul ‘urs apabila terpenuhi syarat-syarat berikut ini:
1. Walimah tersebut adalah walimah yang pertamajika walimahnya dilakukan berulangkali. Dan tidak wajib datang untuk walimah yang selanjutnya, berdasarkan sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Walimah pertama adalah hak (sesuai dengan syari’at, pent), walimah kedua adalah baik, dan walimah yang ketiga adalah riya’ dan sum’ah” (HR. Abu Dawud dan yang lainnya).
Syaikh Taqiyuddin berkata: “Diharamkan makan dan menyembelih yang melebihi batas pada hari berikutnya meskipun sudah menjadi kebiasaan masyarakat atau untuk membahagiakan keluarganya, dan pelakunya harus diberi hukuman”
2. Yang mengundang adalah seorang muslim
3. Yang mengundang bukan termasuk ahli maksiat yang terang-terangan melakukan kemaksiatannya, yang mereka itu wajib dijauhi.
4. Undangannya tertuju kepadanya secara khusus, bukan undangan umum.
5. Tidak ada kemungkaran dalam walimah tersebut seperti adanya khamr (minuman keras), musik, nyanyian dan biduan, seperti yang banyak terjadi dalam acara walimah sekarang.
Apabila terpenuhi syarat-syarat tersebut, maka wajib memenuhi undangan walimah, sebagaimana sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Sejelek-jelek makanan adalah hidangan walimah yang orang-orang miskin tidak diundang tetapi orangorang yang kaya diundang. (Meskipun emikian)
barangsiapa yang tidak memenuhi undangan walimah berarti dia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya”. (HR. Muslim).
Dan disunnahkan untuk mengumumkan pernikahan dan menampakkannya sebagaimana sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Umumkanlah acara pernikahan”. Dan dalam riwayat lain: “Tampakkanlah acara pernikahan” (HR. Ibnu Majah)
Disunnahkan pula menabuh rebana sebagaimana sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Pembeda antara nyanyian serta musik yang halal dan yang haram adalah nyanyian dan rebana dalam acara pernikahan” (HR. Nasa’i, Ahmad dan Tirmidzi. Dan Tirmidzi menghasankannya).
sumber: http://ahlussunnah.web.id/11/02/2010/bekal-bekal-menuju-pernikahan-sesuai-sunnah-nabi