بسم الله الرحمن الرحيم

Wednesday, September 29, 2010

DZIKIR SETELAH SHALAT

DZIKIR DZIKIR SETELAH SHALAT
DZIKIR DZIKIR SETELAH SHALAT



١٠٠ – يَا اَبَا ذَارٍّ ، اَلاَ اُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ تُدْرِكُ بِهِنَّ مَنْ سَبَقَكَ وَلاَ يَلْحَقُكَ مَنْ خَلْفَكَ اِلاَّ مَنْ اَخَذَ بِمِثْلِ عَمَلِكَ ؟ تُكَبِّرُ اللهَ دُبُرَ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثً وَثَلاَثِيْنَ ، وَتَحْمَدُهُ ثَلاَثً وَثَلاَثِيْنَ ، وَتُسَبِّحُهُ ثَلاَثً وَثَلاَثِيْنَ ، وَ تُخْتُهَابِ ,, لاَاِلٰهَ اِاللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكً لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ وَ لَهُ الحَمْدُ وَهُوَ عَلٰى كُلِّ شَىءٍ قَدِيْرٌ .

          Wahai Abu Dzar, maukan engkau kuajari bacaan-bacaan yang dapat engkau pergunakan untuk menyusul (keutamaan) orang-orang yang mendahuluimu, dan tidak ada yang dapat menyusulmu kecuali orang-orang yang mengamalkan hal yang sama dengan apa yang engkau amalkan? Engaku membaca takbir setelah shalat sebanyak tiga puluh tiga kali, membaca hamdalah tiga puluh tiga kali, dan membaca tasbih tiga puluh tiga kali pula. Kemudian engaku akhiri dengan membacaLaa Ilaha Illa llahu, Wahdahu la Syarika Lahu, Lahul-Mulku wa Lahul-Hamdu wahua Ala Kulli Syai’in Qadir.”

          Hadits itu diriwayatkan oleh Abu Dawud (1504), ia berkata, “Abdurrahman bin Ibrahim memberi hadtis kepada kami dan berkata: “Al-Walid bin Muslim memberi hadits kepada kami, dan berkata, “Al-Auza’i memberi hadits kepada kami, seraya berkata: “Hisyam bin “Athiyah memberi hadits kepada saya dan berkata: “Abu Hurairah memberi hadits kepada saya, ia menuturkan: “Abu Dzar beranya, “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya pergi membawa banyak pahala, sebab mereka melakukan shalat seperti kami dan berpuasa seperti kami, namun mereka mempunyai kelebihan harta yang dapat mereka pergunakan untuk sedekah. Sedangkan kami tidak mempunyai harta untuk bersedekah. Lalu Rasulullah r bersabda: (Kemudian perawi menyebutkan sabda Nabi r di atas). Ia menambahkan pada akhir kalimat itu dengan:
(Dosa-dosanya akan diampuni, meskipun sebanyak buih di lautan).

          Saya berpendapat: Sanad ini shahih. Semua perawinya tsiqah dan shahih. Tetapi saya meragukan keshahihan tambahan itu dengan sanad ini. Sebab Imam Ahmad telah mentakhrij hadits itu (2/238) dengan sanad sebagai berikut: “Al-Walid memberi hadits kepada kami dengan riwayat tanpa ada tambahan”. Demikian pula Ad-Darimi, ia mentakhrijnya dengan sanad lain (juz 1 hal 312), ia berkata:

          “Al-Hakim bin Musa memberi kabar kepada kami, ia berkata, “Haqal memberi hadits kepada kami dari Al-Auza’i dengan matan yang sama, tetapi tanpa ada tambahan.”

          Yang jelas, bahwa tambahan itu tidak sesuai dengan rangkaian kalimatnya. Tambahan itu memang ada, tetapi pada riwayat Abu Hurairah yang lain. Saya khawatir, salah satu hadits itu ada yang tertukar dengan riwayat yang lain. Hadits yang saya maksudkan itu akan saya sebutkan pada hadits nomor 101. Insya Allah.
         
          Maha Suci Engkau Ya Allah dan dengan senantia memuji kepada-Mu. Saya bersaksi tidak ada Tuhan selain Engkau. Aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.”

١٠١ – مَنْ سَبَّحَ اللهَ فَىْ دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثً وَثَلاَثِيْنَ ، وَحَمَّدَاللهَ ثَلاَثً وَثَلاَثِيْنَ ، وَكَبَّرَاللهَ ثَلاَثً وَثَلاَثِيْنَ ، فَتِلْكَ تِسْعٌ وَتِسْعُوْنَ ، ثُمَّ قَالَ تَمَامَ الْمِاءَةِ : لاَ اِلٰهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ ، وَلَهُ الْحَمْدُ ، وَهُوَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ . غُفِرَتْ لَهُ خَطَايَاهُ وَاِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ اْللبَحْرِ .

          Barangsiapa mensucikan Allah (membaca tasbih) seusai tiap-tiap shalat tiga puluh tiga kali, memuji Allah (membaca tahmid) tiga puluh tiga kali, dan mengagungkan Allah (membaca takbir) tiga puluh tiga kali, sehingga itu sembilan puluh sembilan kali, kemdian dia mengucapkan genapnya seraatusLaa Ilaha Illah Allahu wahdahu laa syarika lahu lahul mulku walahul hamdu wahuwa ala kulli syaiin qadir” (tidak ada Tuhan selain Allah. Dia Esa tidak ada sekutu bagi-Nya. Kepunyaan-Nya lah kerajaan dan untuk-Nya lah segala puji dan Dia kuasa atas tiap-tiap sesuatu), maka diampunkan baginya kesalahan-kesalahannya meskipun sebanyak buih di lautan.”

          Hadits itu dikeluarkan oleh Imam Muslim (2/98), Abu Awamah (2/247), Al-Baihaqi (2/187) dan Imam Ahmad (2/372, 383) dari jalan Ibnu Abi Shalih dari Abu Ubaid Al-Madzhiji dari Atha bin Yazid Al-Laitsi dari Abu Hurairah secara marfu’.

          Sungguh bilangan ini ada pula dalam hadits lain. Hanya saja tahlil di situ diganti dengan takbir lain di samping tiga puluh tiga. Dan hadits ini akan disebutkan di belakang. Insya Allah.

          (Faedah) Imam An-Nasa’i (1/198) dan Al-Hakim telah mentakhrj (1/253) dari Zaid bin Tsabit yang menuturkan:

Mereka diperintahkan untuk membaca tasbih seusai tiap-tiap sahalat tiga puluh tiga kali, membaca tiga puluh tiga kali dan membaca takbir tiga puluh empat. Kemudian seorang lelaki dari kalangan Anshar bermimpi ditanya: “Apakah Rasul r memerintahkan kepada kamu agar membaca tasbih seusai tiap-tiap shalat tiga puluh tiga kali, tahmid tiga puluh tiga kali dan takbir tiga puluh empat kali?” Dia menjawab. Ya.” Dan berkata lagi: “Jadikanlah ia dua puluh lima dan bacalah disitu tahlil (dua puluh lima kali)”. Ketka pagi dia datang kepada Nabi r dan menyebutkan hal itu kepadanya. Nabi bersabda: “Jadikanlah ia seperti itu.”

          Imam Al-Hakim menilai: “Ini shahih sanadnya.” Penilaian ini disetujui pula oleh Adz-Dzahabi, dan demikianlah keduanya telah mengatakan.

          Bahkan hadits itu mempunyai syahid serupa dari hadtis Ibnu Umar yang dikeluarkan oleh Imam An-Nasa’i dengan sanad shahih.

١٠٢ – مُعَقِّبَاتٌ لاَيَخِيْبُ قَاءِلُهُنَّ اَوْ فَاعِلُهُنَّ دُبُرَ كُلِّ صَلاَةٍ مَكْتُوْبَةٍ : ثَلاَثٌ وَثَلاُثُوْنَ تَبِيْحَةً ، وَثَلاَثٌ وَثَلاَثُوْنَ تَحْمِيْدَةً ، وَاَرْبَعٌ وَثَلاَثُوْنَ تَكْبِيْرَةً .
          Beberapa kalimat, tidak akan rugi orang yang mengucapkannya atau melakukannya seusai tiap-tiap shalat fardhu. Yaitu tiga puluh tiga tasbih, tiga puluh empat tahmid dan tiga puluh empat takbir.”

          Hadits itu diriwayatkan oleh Imam Muslim (2/98), Abu Awamah (2/247, 248), An-Nasa’i (1/198), At-Tirmidzi (2/294), Al-Baihaqi (2/187) dan Ath-Thayalisi (1060) dari beberapa jalan; dari Al-Hakam bin Utaibah, dari Abdurrahman bin Abi Laila dan dari Ka’b bin ‘Ujrah secara marfu’.

          Mu’aqqibat artinya kalimat-kalimat yang dibaca seusai shalat. Dan al-mu’aqqib adalah sesuatu yang datang mengikuti sebelumnya.

          Saya berpendapat: Hadits tersebut merupakan suatu nash yang menunjukkan bahwa dzikir ini hanya diucapkan langsung seusai shalat fardhu, sebagaimana wirid-wirid sebelumnya. Baik shalat fardhu itu mempunyai Sunnah Ba’diyah maupun tidak. Adapun sebagian mazhab ada yang berpendapat bahwa kalimat-kalimat itu dibaca seusai shalat sunnah, ini sebenarnya kurang tepat, sebab bertentangan dengan hadits ini, maupun hadits lainnya yang sebenarnya merupakan dasar bagi masalah ini. Dan Allah Dzat Pemberi Taufiq.


****



LARANGAN MINUM SAMBIL BERDIRI

MINUM SAMBIL BERDIRI
MINUM SAMBIL BERDIRI


١٧٥ -  لاَ يَشْرَبَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ قَائِمًا
          Sungguh janganlah salah seorang dari kamu minum sambil berdiri.”

          Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim (6/110-111) dari Umar bin Hamzah: “Telah bercerita kepadaku Abu Ghithan Murri, bahwa sesungguhnya dia mendengar Abu Hurairah berkata: “Telah bersabda Rasulullah e…, kemudian dia menyebutkan hadits itu dan menambahkan:

          Barangsiapa yang lupa maka hendaklah memuntahkannya.”

          Saya katakan: Umar di sini, meskipun telah dibuat hujjah oleh Imam Muslim, namun dinilai lemah oleh Imam Ahmad, Ibnu Ma’in, An-Nasa’i dan lain-lainnya. Oleh karena itu Al-Hafizh dalam At-Taqrib mengatakan:”Ini Dha’if”. Tetapi shahih dengan lafazh lain. Oleh karena itu saya memberlakukannya di sini tanpa tambahan tersebut. Sesungguhnya hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu Ziyad Ath-Thihani, dia berkata: “Aku mendengar Abu Hurairah menuturkan:

عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسّلَّمَ أَنَّهُ رَأٰٰى رَجُلاً يَشْرَبُ قَا ءِمًا فَقَالَ لَهُ : قِهْ ، قَالَ : لِمَهْ ؟ قَالَ : أَيَسُرُّكَ أَنْ يَشْرَبَ مَعَكَ الْهِرُّ ؟ قَالَ : لاَ ، قَالَ : فَاِنَّهُ قَدْ شَرَبَ مَعَكَ مَنْ هُوَ شَرُّ مِنْهُ ! أَالشَّيْطَانُ !!
          “Dari Nabi e, bahwa sesungguhnya beliau melihat seorang lelaki minum dengan berdiri. Kemudian beliau bersabda kepadanya, “Muntahkanlah!” Orang itu bertanya: “Mengapa?”Beliau bersabda: “Apakah kamu suka jika minum bersama dengan kucing?” Orang lelaki itu menjawab: “Tidak.” Dia bersabda lagi: “Sesungguhnya telah minum bersamamu sesuatu yang lebih buruk daripada itu, yaitu setan.”

          Hadits ini telah ditakhrij oleh Imam Ahmad (7990), Ad-Darimi (2/121), Ath-Thahawi dalam Musykilul-Atsar  (3/19) dari Syu’bah dari Abu Ziyad.

          Hadits ini shahih sanadnya. Para perawinya tsiqah, yakni para perawi Asy-Syaikhain, kecuali Abu Ziyad. Dalam hal ini Ibnu Ma’in megnatakan: “Ia seorang syaikh yang bagus haditsnya,” seperti keterangan dalam Al-Jarh wat-Ta’dil (4/2/373). Karena itu perkataan Adz-Dzahabitidak dikenal”, adalah termasuk sesuatu yang tidak perlu diperhatikan, khususnya setelah dua imam tersebut menilainya tsiqah.

          Hadits ini juga muncul dengan lafazh lain, yaitu:

١٧٦ -  لَوْ يَعْلَمَ الَّذِي يَشْرَبُ  وَهَوَ قَائِمٌ مَا فِي بَطْنِهِ لاَسْتَقَاءَ .
         
          Jikalau orang yang minum sambil berdiri itu mengetahui apa yang ada dalam perutnya, tentu dia akan memuntahkannya.”

          Hadits ini ditakhrij oleh Imam Ahmad (7790 dan 7796) dari Az-Zuhri dari seorang lelaki dari A’masy, dari Abi Shalih, yang ini juga dari Abu Hurairah yang menuturkan: “Telah bersabda Rasulullah e…” Kemudian Ath-Thahawi juga meriwayatkannya dalam Musykilul Atsar (3/18) dari Al-A’masy dengan menambahkan:

Sampai tibalah Ali bin Abi Thalib, lalu dia berdiri kemudian minum sambil berdiri.”

          Saya berpendapat: Sanad yang kedua ini shahih. Perawinya adalah Asy-Syaikhain. Dan dalam sanad yang pertama terdapat lelaki yang tidak disebutkan. Jika dia bukan Al-A’masy, maka akan menguatkan hadits tersebut. Namun jika dia adalah A’masy, maka hadits itu juga tidak cela, sebagaimana telah jelas. Dan dalam Majma az-Zawaid (79/5) disebutkan: “Hadits ini telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan dua sanad dan diriwayatkan oleh Bazzar. Salah satu dari dua sanad Ahmad tersebut, para perawinya adalah perawi-perawi yang shahih.

          Sesungguhnya hadits ini mengandung suatu larangan yang sangat halus terhadap perilaku minum sambil berdiri. Larangan yang jelas mengenai hal ini telah datang dari hadits Anas t, yaitu:

١٧٧  -  نَهٰى ( وَفِي لَفَظٍ زَجَرَ ) عَنَ الشُّرْبِ قَائِمَا

          Nabi e melarang (dalam suatu riwayat mencela) terhadap minum dengan berdiri.”

          Hadits ini ditakhrij oleh Imam Muslim (juz I hal. 110), Abu Dawud (no. 3717), At-Tirmidzi (3/117), Ad-Darimi (2/120-121), Ibnu Majah (2/338), Ath-Thahawi dalam Syarh Al-Ma’ani (2/357) dan Al-Musykil (3/18), (2/332), Ahmad (3/118, 131, 147,199, 214, 250, 277, 291), dan Abu Ya’la (156/2, 158/2, 159/2) serta Adh-Dhiyadalam Al-Mukhtarah (205/2) dari jalur Qatadah berasal dari Anas secara marfu’. Dua orang terakhir ini menambahkan kalimat: “dan makan sambil berdiri.” Dalam sanad keduanya ada Makhtar Al-Waraq, dia dha’if dan sungguh diperselisihkan. Kemudian dalam riwayat Muslim dan lainnya terdapat lafazh:

          Qatadah berkata, “Kemudian kami berkata: “Kalau makan?” Beliau bersabda: “Itu lebih buruk dan lebih keji.”

          Saya berpendapat: Riwayat keduanya dalah mudarrajah (disadur dari sesuatu yang bukan hadits namun diasumsikan hadits). Dalam hal ini Qatadah mempunyai dua sanad lain:

          Pertama: Dia meriwayatkan hadits itu dari Abi Isa Al-Aswari yang berasal dari Abi Sa’id Al-Khudzri dengan lafazh kedua hadits itu ditakhrij oleh Imam Muslim dan Ath-Thahawi.

          Kemudian ia juga meriwayatkannya dari Abu Muslim Al-Judzami berasal dari Al-Jarul bin Al-Alla’ra.

          Hadits tersebut ditakhrij oleh Ath-Thahawi dan At-Tirmidzi. At-Tirmidzi mengatakan: “Hadits ini hasan gharib.”

          Hadits ini juga memiliki syahid (hadits pendukung) yaitu hadits Abu Hurairah yang serupa dengan itu.

          Hadits itu ditakhrij oleh Imam Ahmad (2/327) dan Ath-Thahawi, sedang nilai sanadnya adalah shahih.

          Hadits itu juga memiliki syahid lain dari hadits Jabir yang serupa, ditakhrij oleh Abu ‘Urwabah Al-Harani dalam Hadits Al-Juzurin (1/51) dengan sanad shahih.

          Kejelasan larangan dalam hadits-hadits tersebut menunjukkan diharamkannya minum dengan berdiri tanpa udzur. Namun banyak pula hadits lain yang menunjukkan bahwa Nabi e juga pernah minum sambil berdiri. Karena itu akibatnya para alim ulama berbeda pendapat dalam menyatukan hadits-hadits itu. Ulama kebanyakan berpendapat bahwa larangan itu Li at-Tanzih (makruh). Sedangkan perintah untuk memuntahkan adalah Sunnah. Sementara itu Ibnu Hazem berbeda dengan mereka. Dia berpendapat, bahwa larangan itu menunjukkan haram. Agaknya pendapat inilah yang lebih mendekati kebenaran. Karena bila untuk sekedari tanzih tidak perlu menggunakan kata zijirun (tercela), dan tidak akan diperintahkan untuk memuntahkan, sebab perintah memuntahkan di situ adalah sesuatu yang sulit bagi seseorang untuk melakukannya, sehingga tidak mungkin syariat membebankan sesuatu yang seberat itu hanya untuk perkara yang sekedar sunnah. Demikian pula hadits itu juga berbunyi Sesungguhnya setan telah minum bersamamu.” Ini adalah suatu larangan atau peringatan keras agar tidak minum dengan berdiri. Jadi tidak tepat jika peringatan itu hanya diberikan untuk perkara meninggalkan sunnah saja.

          Sedangkan hadits-hadits yang menerangkan minum dengan berdiri adalah mungkin karena ada udzur seperti tempat yang sempit atau karena tempat airnya tergantung. Karena memang ada hadits-hadits yang menunjukkan yang demikian itu. Wallahu a’lam.


****


   

KEUTAMAAN ISTIGHFAR DAN DZIKIR

KEUTAMAAN ISTIGHFAR


١٠٤ – اِنَّ الشَّيْطَانَ قَالَ : وَعِزَّتِكَ يَارَبِّ لاَاَبْرَحُ اَغْوِى عِبَادَكَ مَادَامَتْ اَرْوَاحُهُمْ فِى اَجْسَادِهِمْ ، فَقَالَ رَبُّ تَبَارَكَ وَتَعَالٰى: وَعِزَّتِىْ وَجَلاَ لِىْ لاَاَزَالُ اَغْفِرُ لَهُمْ مَا اسْتَغْفَرُوْلِىْ
          Sesungguhnya syetan berkata: “Demi Kemuliaan-Mu Wahai Tuhanku, tidak henti-hentinya aku menyesatkan hamba-hamba-Mu selama ruh  mereka berada dalam jasad mereka.” Lalu Tuhan Yang Maha Luhur berfirman: “Demi Kemuliaan dan Keagungan-Ku, Aku tidak henti-hentinya mengampuni mereka selama mereka memohon ampun kepadaku.”

          Hadits itu diriwayatkan oleh Al-Hakim (4/261), Al-Baihaqi dalam Al-Asma (hal. 134) dari Abi Sa’id t bahwa Rasulullah r bersabda:  (Kemudian dia menyebutkan hadits di atas).

          Selanjutnya Al-Hakim menilai :

          Hadits ini shahih sanadnyadan penilaian tersebut juga disepakati oleh Adz-Dzahabi, namun hal itu masih sedikit mengandung keraguan. Karena Darraj, menurutnya adalah lemah, sebagaimana keterangan yang akan datang.

          Hadit itu juga diriwayatkan oleh Ibnu Luhai’ah dan Darraj dan menambahkan  wartifa’u makani (dan demi ketinggian kedudukan-Ku)

          Hadits itu dikeluarkan oleh Al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah (1/146dan Imam Ahamd (3/29) dengan tanpa ada tambahan tersebut. Sedang Adz-Dzahabi juga mengambilnya dalam Al-‘Uluwwi (hal. 116) dari sisi ini, dia tidak menyandarkannya pada seorangpun dan mengatakan:

          Darraj adalah lemah.”    

          Saya berpendapat: “Illat penambahan ini adalah dari Ibnu Luhai’ah, yakni dari pencampurannya sendiri. Bukan dari Darraj. Karena sebagaimana telah saya lihat bahwa Amr bin Al-Harits telah meriwayatkan hadits itu dari Darraj tanpa tambahan tersebut.”

          Hadits itu juga dikuatkan oleh hadits lain yang ditakhrij oleh Imam Ahamd (3/29/41) dari jalur Laits, dari Yazid bin Al-Hadi, dari Amr, dari Abi Sa’id Al-Khudri secara marfudengan matan:

          Sesungguhnya iblis telah berkata kapada Tuhannya: “Demi kemuliaan dan keagungan-Mu, tidak henti-hentinya aku menyesatkan anak Adam selama nyawa ada pada mereka.” Kemudian Allah berfirman: “Maka demi Kemuliaan dan Keagungan-Ku, tidak henti-hentinya Aku mengampuni mereka selama mereka memohon ampun kepada-Ku.”

          Saya berpendapat: Hadits ini semua sanadnya adalah terpercaya tsiqah dan dipakai oleh Bukhari-Muslim. Hanya saja terputus di antara Amr, yakni Ibnu Abi Umar, seorang budak yang dimerdekakan oleh Al-Muthalib, dan Abi Sa’id Al-Khudri. Mereka sungguh tidak menyebutkan Amr meriwayatkan dari kalangan para sahabat, kecuali Anas bin Malik, yang jauh baru meninggal setelah Abu Sa’id. Adapun Abu Sa’id sendiri wafatnya menurut riwayat yang paling banyak, pada tahun 75 H. Sedangkan Anas bin Malik wafat pada tahun 92 H atau menurut riwayat yang lain pada tahun 93 H.

          Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Haitsami dalam Al-Majma (10/207) dengan lafazh Imam Ahmad dan dia menyebutkan:

          Imam Ahmad dan Abu Ya’la telah meriwayatkan hadits tersebut dengan sanadnya. (Kemudian Al-Haitsami menyebutkan):

          Tidak henti-hentinya aku menyesatkan hamba-hamba-Mu”. Demikian pula Ath-Thabrani meriwayatkan dalam Al-Ausath. Dan dalam salah satu sanad Imam Ahmad, para perawinya adalah perawi-perawi yang shahih. Demikian pula salah satu sanad Abi Ya’la.

          Seolah-olah Al-Haitsami tidak melihat adanya keterputusan yang telah saya sebutkan tadi. Saya katakana ini atas dasar bahwa perkataan seorang muhaddits (ahli hadits) mengenai suatu hadits yang semua perawinya shahih atau tsiqah, atau yang sejajar dengan itu, tidak menjamin keshahihan sanadnya. Hal ini memang agak berbeda dengan apa yang disangka sebagian orang. Dalam persoalan ini, Al-Hafizh Ibnu Hajar telah menetapkan seperti yang telah kita sebutkan tadi. Dalam At-Talkhish(ha. 239), setelah menyebutkan hadits lain, dia mengatakan:

          Para perawi yang tsiqah belum tentu menjamin nilai shahih. Karena bisa saja seorang perawi itu kabur penglihatannya hingga tertipu dan tidak dapat menyebutkan kesalahan yang sebenarnya ada.”

١٠٥لَقَيْتُ اِبْرَاحِيْمَ لَيْلَةَ اُسْرِيَ بِىْ ، فَقَالَ : يَا مُحَمَّدُ اَقْرِىْ أُمَّتَكَ مِنِّى السَلاَمَ ، وَاَخْبِرْهُمْ اَنَّ الْجَنَّةَ طَيِّبَةُ التُّرْبَتىِ عَذْبَتُ الْمَاءِ ، وَاِنَّهَا قِيْعَانٌ ، غَرَاسُهَا سُبْحَنَ اللهِ وَالْحَمْدُ للهِ وَلاَ اِلٰهَ اِلاَّ اللهُ ، وَاللهُ اَكْبَرُ .
          Aku berjumpa Ibrahim di malam aku di isra’kan. Lalu dia berkata: Wahai Muhammad, sampaikan kepada umatmu salam dariku dan kabarkan kepada mereka bahwa surga itu baik tanahnya, manis airnya dan sesungguhnya ia merupakan lembah, tanamannya adalah: “Subhana Allah wal Hamdulillah wa Laa Ilaha Illa Allahu wa Allahu Akbar (Maha Suci Allah segala puji bagi Allah tidak ada Tuhan selain Allah, Allah Maha Besar).”

          Hadits itu ditakhrij (dikeluarkan) oleh At-Tirmidzi (2/258-Bulaq), dari Abdurrahman bin Ishaq dari Al-Qasim bin Abdurrahman dari Ibnu Mas’ud secara marfudan At-Tirmidzi mengatakan:

          Hadits ini hasan gharib dari segi yang ini, yaitu dari hadits Ibnu Mas’ud.”

          Saya berpendapat: “Adapun Abdurrahman bin Ishaq, telah disepakati, adalah lemah. Namun yang menguatkannya adalah dua pendukung (syahid) dari hadits Abu Ayub Al-Anshari dari hadits Abdullah bin Umar.”

          Adapun hadits Abu Ayub adalah dari jalan Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin Umar, dari Salim bin Abdullah: “Telah mengabarkan kepadaku Abu Ayub Al-Anshari:

          Sesungguhnya Rasulullah r pada malam di-isra’-kan melewati Ibrahim yang kemudian bertanya, “Siapakah yang bersama kamu wahai Jibril?” Jibril menjawab: “Ini Muhammad.” Lalu Ibrahim berkata kepada Muhammad, “Perintahkan kepada umatmu agar mereka memperbanyak tanaman surga. Sesungguhnya debunya suci dan tanahnya luas.” Rasul r bertanya, “Apakah tanamana surga itu?” Ibrahim menjawab, “Laa Haula walaa Quwwata Illah Billah” (tidak ada daya upaya dan kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah).

          Hadits ini dikeluarkan (ditakhrij) oleh Imam Ahmad (5/418), Abubakar Asy-Syafi’i dalam Al-Fawa’id (6/65/1), dan Ath-Thabrani seperti dalam Al-Majma (10/97) menyebutkan: “Para perawi Imam Ahmad adalah perawi-perawi shahih, kecuali Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin Umar bin Khaththab. Dia tsiqah dan tidak seorang pun yang menentangnya. Demikian pula Ibnu Hibban menganggapnya tsiqah.”

          Saya berpendapat: Karena Ibnu Hibban telah menilainya tsiqah, maka dia mentakhrijnya di dalam Shahih-nya, seperti Ath-Targhib (2/265) menyandarkannya kepada Ibnu Abi Dun-ya beserta Imam Ahmad. Dia juga mengatakan :Sanad hadits ini hasan.”

          Saya berpendapat: Menurut saya dalam hal ini terdapat kata nadhrun (sesuatu yang meragukan). Seperti yang telah beberapa kali saya tegaskan bahwa penilaian tsiqah oleh Ibnu Hibban disitu adalah sebelumnya, maka hadits tersebut adalah La ba’sa bih (tidak mengapa)/

          Adapun hadits Ibnu Umar ditakhrij oleh Ibnu Abi Dun-ya, dalam bab Dzikir, dan Ath-Thabrani dengan lafazh:

          Perbanyakanlah tanaman surga. Sesungguhnya surga itu manis airnya, bagus tanahnya, maka perbanyaklah tanamannya. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah tanamannya?” Dia menjawab: “Masya Allah Laa haula walaa quwwata illa billah” (sesuatu yang telah dikehendaki Allah. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah).

          Demikian apa yang telah disebutkan oleh Ibnu Abi Dun-ya dalam At-Targhib, namun tidak memberi komentar apapun. Sedangkan Al-Haitsami juga mengambilnya dari riwayat Ath-Thabrani tanpa perkataan MasyaAllah  dan dia berkata (10/98): Di sini ada Uqbah bin Ali, dan ia adalah dha’if. Qi’an (قِيعان ) adalah bentuk jamadari qa’in (قاع ), artinya tempat yang tinggi dan luas dalam suatu lembah dari bumi yang disirami air langit, kemudian ia dapat menahan air tersebut hingga dapat menumbuhkan tanaman-tanamannya.

Di sarikan dalam kitab Ash-Shahihah I (Syaikh Nasuruddin Al Albani)
****