بسم الله الرحمن الرحيم

Wednesday, September 29, 2010

PERINTAH MEMPELAJARI AL-QUR’AN

PERINTAH MEMPELAJARI AL-QUR’AN
PERINTAH MEMPELAJARI AL-QUR’AN      



٨٧ – يَدْرُسُ اْلاِسْلاَمُ كَمَا يَدْرُسُ وَثْىُ الثَّوْبِ . حَتّٰٰى لاَيُدْرٰ مَاصِيَامُ وَلاَصَلاَةٌ وَلاَ نُسْكٌ وَلاَ صَدَقَةٌ ، وَلَيُسْرٰى عَلٰى كِتَبِ اللهِ عَزَّوَجَلَّ فِى لَيْلَةٍ فَلاَ يَبْقٰى فِى اْلاَرْضِ مِنْهُ اٰيَةٌ وَيَبْقٰى طَوَاءِفُ مِنَ النَّاسِ : اَشَّيْخُ الْكَبِيْرُ وَلْعَجُوْزُ ، يَقُالُوْنَ : اَدْرَكْنَا اٰبَاعَنَا عَلٰى هٰذِهِ الْكَلِمَةِ : ،، لاَاِلٰهَ اِلاَّاللهُ فَنَحْنُ نَقُوْلُهَا .

“(Kelak) Islam akan mengalami kelunturan seperti lunturnya batik baju, sehingga tidak diketahui lagi apa itu shalat, puasa, ibadah dan sedekah. Dan Al-Qur’an sungguh akan dibawa pergi, sehingga tak ada satupun yang tersisa di muka bumi ini. Golongan manusia yang tersisa adalah Kakek dan Nenek. Mereka berkata: “Kami mendapatkan kalimat seperti ini dari nenek moyang kami: Laa Ilaaha Illallah, oleh karena itu kami mengucapkannya.”

Hadits ini ditakhrij oleh Ibnu Majah (4049) dan Al-Hakim (4/473) melalui jalur Abu Mu’awiyah dari Abu Malik Al-Asyja’i dan Rabi’i bin Harsani dari Hudzaifah bin Yaman secara marfu’, Ibnu Majah menambahkan:

Sillah bin Zufar berkata kepada Hudzaifah: “Apa yang membuat mereka cukup dengan ‘Laa Ilaaha Illallahu’ tanpa mengetahui arti shalat, puasa, ibadah dan sedekah? Hudzaifah berpaling darinya. Oleh karena itu Sillah mengulangi pertanyaan itu sampai tiga kali. Namun tetap tidak digubris oleh Hudzaifah. Dan pada pertanyaan ketiga, baru Hudzaifah memperhatikan seraya berkata: “Wahai Sillah, kalimat itu dapat menyelamatkan mereka dari siksa api neraka.” Hudzaifah dengan kalimat seperti itu sebanyak tiga kali.”

Al-Hakim menilai hadits ini: “Shahih sesuai dengan criteria Imam Muslim.” Sedang Adz-Dzahabi juga sependapat dengan penilaian itu.

Saya berpendapat: Apa yang dikemukakan oleh keduanya (Al-Hakim dan Adz-Dzahabi) adalah benar. Sedangkan Al-Bushairi di dalam Az-Zawa’id  (nomor 247/1) berkata: “Sanadnya shahih dan perawi-perawinya tsiqah.”

Kata yadrusu  berasal dari kata darasa ar-rasmu durusun, yang berarti hilang dan hancur.

Sedangkan wasyus tsaub artinya batik baju.

Kandungan Hadits

          Hadits ini memuat kisah yang amat mendebarkan, yaitu terhapusnya pengaruh Islam pada suatu saat. Juga berisi tentang dihapuskannya Al-Qur’an sehingga tak satu pun ayatnya yang tersisa. Hal itu terjadi tentunya setelah Islam mampu menguasai roda kehidupan dunia, dan hanya agama itulah yang tertinggi, seperti dijelaskan oleh firman Allah:

هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al Qur'an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” (QS At-Taubah : 33)

Rasulullah r juga banyak menjelaskan hal itu di dalam hadits-haditsnya, diantaranya apa yang telah saya sebutkan di dalam pembahasan pertama.

Sungguh Al-Qur’an di akhir zaman akan dihapus untuk memberi peringatan bahwa kiamat telah dekat, karena kerusakan moral telah merajalela. Manusia tidak lagi mengetahui Islam sedikitpun, bahkan tauhidnya juga tidak mereka ketahui!

Hal itu juga memberi isyarat keagungan Al-Qur’an yang keberadaannya di antara kaum muslimin menjadi factor tegak dan langgengnya agama mereka. Hal itu akan senantiasa terpelihara dengan catatan senantiasa dipelajari, direnungkan dan dipahami secara mendalam. Karena itulah Allah I menjanjikan kelangsungan Al-Qur’an sampai suatu saat dimana Allah I menetapkan adanya penghapusan itu.

Sungguh sesat apa yang dikemukakan sebagian orang yang bertaklid, yang mengatakan bahwa agama Islam akan tetap terpelihara dengan adanya keempat madzhab. Mereka berpendapat bahwa tidak ada bahaya sama sekali menyia-nyiakan Al-Qur’an seandainya penghapusan itu akan benar-benar terjadi. Inilah yang dengan jelas dikemukakan oleh sebagian Mufit dari luar Arab saat berdialog dengan saya seputar masalah ijtihad dan taqlid. Ia berpendapat – suatu hal yang banyak diperselisihkan oleh para ulama – bahwa pintu ijtihad telah tertutup sejak abad ke empat Hijriyah! Kemudian saya bertanya kepadanya, “Apa yang kita lakukan untuk mengetahui hukup dari berbagai peristiwa (permasalahan) baru dalam hidup ini? Ia menjawab, “Semua kejadian itu bagaimanapun banyak dan beragamnya telah dijawab (akan Anda temukan jawabannya) di dalam karya-karya ulama kita terdahulu, baik secara jelas atau dengan persamaannya (analogi).” Saya kemudian menimpali, “Dengan demikian anda telah mengakui terbukanya pintu ijtihad bukan?” Ia balik bertanya, “Mana buktinya?” Saya jawab, “Sebab Anda mengakui bahwa kadang-kadang dengan masalah yang sepadan (semisal), bukan masalah yang persis. JIka demikian maka merupakan suatu keharusan untuk mencari pemecahan hukum terhadap permasalahan yang ada di zaman sekarang ini. Sehingga mau tidak mau harus dipakai penalaran dan qyas yaitu sumber keempat dari hukum syara’. Dan inilah hakekat ijtihad bagi orang yang mampu melakukannya.”

Dengan demikian bagaimana kalian bisa mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup? Hal ini mengingatkan saya pada suatu dialog antara saya dengan seorang Mufti dari Suriah. Saya bertanya. “Salahkah shalat di atas pesawat terbang?” Ia menjawab, “Sah.” Saya bertanya, “Anda menjawab seperti itu dengan taqlid atau ijtihad?” Ia balik bertanya, “Apa yang Anda maksudkan?” Saya katakana, “Tidak asing lagi bahwa menurut Anda dasar dalam memberikan fatwa tidak boleh dengan ijtihad, melainkan harus bertumpu pada pernyataan seorang Imam di dalam kitabnya. Adakah di dalam kitab itu yang menjelaskan sahnya shalat di dalam pesawat terbang?: Ia menjawab, “Tidak.” Kembali saya bertanya, “Mengapa sekarang Anda menyalahi aturan fatwa yang Anda gariskan? Yakni dengan memberikan fatwa tanpa teks dari imam terdahulu?” Ia mengatakan, “Jawabannya adalah dengan menganalogikan.” Saya tanyakan, “Apa maqis alaihi-nya (sandaran analogi)?” Ia menjawab, “Shalat di atas kapal.” Saya katakana, “Bagus itu, tetapi Anda menyalahi aturan pokok atau hukum pokok atau hukum cabangnya. Hukum pokoknya telah Anda sebutkan. Sedang hukum far’nya adalah apa yang disebutkan Imam Rafi’ di dalam kitab syarahnya: “Orang yang shalat di atas bandulan yang tidak digantungkannya dengan tanah, maka shalatnya batal.” Ia menjawab, “Saya tidak mengetahui hal itu.” Saya katakana, “Periksalah apa yang dikemukakan Imam Rafi’ itu. Anda akan tahu secara detail. JIka Anda mengikutinya, tentu Anda akan berpendapat bahwa shalat di atas pesawat tidak sah. Karena seperti itulah yang sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Imam Rafi’ dengan jelas, yang waktu itu dia hanya menghayalkan masalah semata. Sedangkan kami berpendapat bahwa shalat di dalam pesawat tetap sah. Sebab pesawat juga terhubungkan dengan bumi melalui udara (angina).”

Kemudian saya melanjutkan dialog dengan mufti non Arab tadi. Saya bertanya, “Seandainya masalahnya benar seperti yang Anda kemukakan, bahwa kaum muslimin tidak membutuhkan mujtahid lagi, sebab mereka dapat menemukan jawaban masalahnya dari kitab-kitab yang ada, baik mengenai masalah yang benar-benar sama atau yang hanya sepadan. Apakah tidak membahayakan seandainya terhapusnya Al-Qur’an akan benar-benar terjadi?” Ia menjawab, “Itu tidak akan terjadi.” Saya katakana, “Seandainya hal itu terjadi?” Ia menjawab, :Bila terhapusnya Al-Qur’an benar-benar terjadi, tidak akan membahayakan.” Saya menimpali, “Kalau begitu apa arti penjagaan yang dilakukan oleh Allah terhadap Al-Qur’an pada firman-Nya:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungghunya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS Al- Hijr : 9)

Pemeliharaan itu tentu saja tidak ada artinya seandainya pemeliharaan oleh kaum muslimin tidak penting lagi setelah masa keempat madzhab itu.

Pada dasarnya jawaban yang saya peroleh dari mufti dengan cara dialog itu merupakan jawaban mayoritas orang-orang bertaklid. Hanya bedanya, ada juga yang tidak berani mengemukakannya.

Akibat dari tindakan mereka yang saya ceritakan itu perlu direnungkan. Mereka sebenarnya telah membuat Al-Qur’an terhapus hukumnya, padahal tulisannya masih terpampang jelas di hadapan kita. Lalu bagaimana sikap mereka apabila Al-Qur’an benar-benar telah dibawa pergi, dan tidak ada lagi satu ayat pun yang tertinggal? Semoga Allah senantiasa memberi petunjuk kepada kita. Amin.

                               Di sarikan dalam kitab Ash-Shahihah I (Syaikh Nasuruddin Al Albani)

No comments:

Post a Comment