بسم الله الرحمن الرحيم

Tuesday, September 28, 2010

Khilafah dan Jejak Islam Kesultanan Islam Nusantara

Titik Tolak Dakwah Islam di Nusantara,
Awal Mula Kedatangan Islam Ke Nusantara,

Paling tidak ada tiga teori yang menjelaskan kedatangan Islam ke kawasan Timu, termasuk ke Nusantara. Teori pertama dilontarkan oleh Snouck hurgronje. Ia mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia dari wilaya-wilayah yang ada di anak benua India. Tempat-tempat seperti Gujarat, Bengali dan Malabar di sebut-sebut sebagai asal masuknya Islam ke Nusantara.
Dalam buku L’arabie et les Indes Neerlendaises, Snouck mengatakan, teori tersebut di dasarkan pada pengamatan tidak terlihatnya peran dan nilai-nilai Arab yang ada dalam Islam pada masa-masa awal, yaitu pada abad ke-12 atau 13 M. Snouck juga mengatakan, teorinya didukung dengan adanya hubungan yang sudah terjalin lama antara wilayah Nusantara dengan daratan India.
Teori ini sebenarnya seudah dimunculkan terlebih dahulu oleh Pijnappel, seorang sarjana dari Universitas Leiden. Namun, nama Snouck Hurgronje lah yang kemudian lebih populer memasarkan teori Gujarat ini. Salah satu alasannya adalah, karena snouck dipandang sebagai sosok yang lebih mendalami Islam. Teori ini diikuti dan dikembangkan oleh banyak sarjana Barat lainnya, termasuk anak-anak asuhnya yang berasal dari kalangan sejarawan Timur. Buku-buku sejarah kita yang beredar di sekolah tingkat lanjut, yang membahas tentang asal mula datangnya Islam, juga mengikut teori yang dipopulerkan oleh Snouck Hurgronje ini. Ini menunjukkan bahwa topik tentang sejarah yang membicarakan awal muda kedatangan Islam di Nusantara dengan mengikuti teori ini amat di pengaruhi sumber-sumber kolonialis, yang pasti memiliki motivasi atau maksud di dalam pengungkapannya.
Teori kedua, adalah Teori Persia. Tanah Persia disebut-sebut sebagai tempat awal Islam datang di Nusantara. Teori ini bersandar pada adanya kesamaan budaya yang dimiliki oleh beberapa kelompok masyarakat Islam dengan penduduk Persia. Misalnya saja, tentang peringatan 10 Muharam yang dijadikan sebagai hari peringatan wafatnya Hasan dan Husein, cucu Rasulullah saw. Selain itu, di beberapa tempat di Sumatera Barat ada pula tradisi Tabut, yang berarti keranda (makna aslinya berarti tempat penyimpanan Taurat), juga untuk memperingati Hasan dan Husein. Ada pula pendukung lain dari teori, yakni adanya beberapa serapan bahasa yang di yakini berasal dari wilayah Iran. Misalnya saja kata Jabar dari zabar, jer dari je-er dll.
Kedua teori di atas mendapat kritikan yang cukup tajam yang berasal dari teori ketiga, yaitu Teori Arabia. Dalam teori ini disebutkan, bahwa Islam yang masuk ke Indonesia datang langsung dari Makkah atau Madinah. Waktu kedatangannya pun bukan pada Abad ke-12 atau 1, melainkan pada awal abad ke 7 M. Artinya, menurut teori ini, Islam masuk ke Indonesia pada awal pertama Hijriah. Bahkan pada masa Pemerintahan Islam berada di tangan Khulafaur Rasyidin, Islam sudah mulai masuk ke Nusantara.
Sumber-sumber literatur China menyebutkan menjelang perempat pertama abad ke-7 M, sudah berdiri perkampungan Arab-Muslim di pesisir pantai Sumatera. Di perkampungan-perakampungan ini diberitakan, orang-orang Arab bermukim dan menikah dengan penduduk lokal, lalu membentuk komunitas-komunitas Muslim.
Di dalam kitab sejarah China yang berjudul Chiu T’hang Shu, disebutkan pernah mendapat kunjungan diplomatik dari orang-orang Ta Shih (ini adalah sebutan yang yang ditujukan untuk orang Arab) pada tahun 651 M atau 31 Hijriah. Empat tahun kemudian, dinasti yang sama kedatatangan duta (utusan) yang dikirim oleh Tan mi mo ni’. Tan mi mo ni’ adalah sebutan untuk Amirul Mukminin atau Khalifah kaum Muslim.
Dalam catatan tersebut, duta Tan mi mo ni’ menyebutkan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah (Negara Islam), dan sudah tiga kali berganti kepemimpinan. Artinya, duta Muslim tersebut datang ke China pada masa kepemimpinan Khlaifah Utsman bin Affan ra.
Semakin kesini, duta-duta dari Timur Tengah yang datang ke wilayah Timur (terutama China semakin banyak dan meningkat intensitasnya, seiring dengan terbukannya komunikasi dan luasnya kesempatan untuk berdakwah dan berdagang. Pada masa ke-Khilafahan Bani Umayyah saja ada sebanyak 17 duta Muslim yang datang ke China. Pada masa ke-Khilafahan Bani Abbasiyyah dikirim 18 duta Muslim ke negeri China. Bahkan jauh sebelum itu, pada pertengahan abad ke -7 M, sudah berdirinya beberapa perkampungan Muslim di wilayah Kanfu atau yang sekarang dikenal sebagai Kanton
Tentu saja, tidak hanya di negeri China perjalanan dilakukan. Beberapa catatan menyebutkan duta-duta Muslim juga mengunjungi kawasan Zabaj atau Sribuza, atau yang lebih kita kenal dengan Kerajaan Sriwijaya, kenyataan itu sangat bisa kita terima karena zaman itu adalah masa-masa keemasan Kerajaan Sriwijaya. Tidak ada satu ekspedisi pun (yang melalui jalur laut) yang akan menuju ke China dari kawasan Timur Tengah maupun Gujarat, kecuali melewati Selat Malaka, dan biasanya akan singgah terlebih dulu ke Sribuza (Kerajaan Sriwijaya).
Sebuah literatur kuno Arab yang berjudul Aja’ib al-Hind, yang ditulis oleh Buzurg bin Shahriyar ar-Ramhurmuzi pada tahun 1000 M, memberikan gambaran bahwa ada perkampungan-perkampungan Muslim yang dibangun di wilayah Kerajaan Sriwijaya. Hubungan Sriwijaya dengan ke-Khilafahan Islam di Timur Tengah terus berlanjtu, hingga dimasa Khalifah Umar bin Abdul Azis. Ibnu abd ar-Rabbih dalam karyanya al-‘iqd al-Farid, yang dikutip oleh Azyumardi Azra dalam bukunya ‘Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII’, menyebutkan mengenai adanya korespondensi yang berlangsung antara Raja Sriwijaya saat itu, yakni Sri Indravarman, dengan Khalifah Umar bin Abdul Azis yang terkenal adil itu.
 
Dua Pucuk Surat Pengakuan Raja Sriwijaya Jambi,

Hubungan Nusantara dengan Timur Tengah yang menjadi tempat asal lahirnya agama Islam sudah terasa sejak masa-masa awal berdirinya ke-Khilafahan Islam. Keberhasilan umat Islam melakukan penaklukan (futuhat) terhadap Kerajaan Persia pada masa Khalifah Umar bin Khathab ra, serta penguasaan atas sebagian besar wilayah Romawi Timur, seperti Mesir, Suriah, dan Palestina telah menempatkan ke-Khilafahan menjadi negara super power dunia sejak abad ke-7. Apalagi ketika kekuatan Islam berhasil menenggelamkan Kekaisaran Persia di masa Khalifah Umar bin Khathab ra hingga tinggal sejarah. Perluasan Islam pun semakin intensif dilakukan, seiring dengan perluasan pengaruh politik, ekonomi, sosial dan tentu saja ideologi (yaitu dakwah Islam) ke seluruh pelosok dunia yang saat itu memungkinkah untuk dirambah. Ketika ke-Khilafahan berada di tangan Bani Umayyah (tahun 660-749 M), penguasa di Nusantara yang masih beragama Hindu mengakui kebesaran Negara Khilafah.

Pengakuan terhadap kebesaran pengaruh Negara Khilafah ini dibuktikan dengan adanya dua pucuk surat yang dikirimkan oleh Raja Sriwijaya Jambi saat itu kepada Khalifah yang hidup pada masa Bani Umayyah. Surat pertama di kirimkan kepada Muawiyyah, dan surat kedua di kirimkan kepada Umar bin Adbul aziz. Surat pertama di temukan dalam sebuah diwan (arsip) Bani Umayyah oleh Abdul Malik bin Umair, yang disampaikan kepada Abu Ya’qub at-Tsaqafi yang kemudian disampaikan kepada al-Haitsam bin Adi. Al-Jahizh, yang mendengar surat itu dari al-Haitsam, menceritakan pendahuluan surat itu sebagai berikut:

“Dari Raja al-Hind, yang kandang binatangnya berisikan seribu gajah, (dan) yang istananyater terbuat dari emas dan perak, yang dilayani putri raja-raja, dan yang memiliki dua sungai besar yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian pala dan kapur barus yang semerbak wanginya, kepada muawiyyah . . .”

Surat kedua didokumentasikan oleh Abd Rabbih (246-329 H/860-940 M) dalam karyanya yang berjudul al-‘laq al-Farid. Potongan suratnya sbb :

“Dari Raja di Raja yang adalah keturunan seribu raja yang istrinya juga cucu seribu raja, kepada Raja Arab (Umar bin abdul Aziz) yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Aku telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tidak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan. Dan aku ingin anda mengirimkan kepadaku seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepadaku, dan menjelaskan kepadaku hukum-hukumnya.”

Ibnu Tighribirdi yang juga mengutip surat ini dalam karyanya, an-Nujum az-Zhahirah fi Muluk Mishr wa al-Qahirah, memberikan kalimat-kalimat pada akhir surat ini, yakni :
“Aku mengirmkan hadiah kepada anda berupa bahan wewangian, sawo, kemenyan dan kapur barus. Terimalah hadiah itu, karena aku adalah saudara anda dalam Islam”

Namun demikian, sekalipun ada kalimat “saudara Anda dalam Islam”, belum ada indikasi Raja Sriwijaya Jambi memeluk Islam. Raja yang berkuasa saat itu ialah Srindravarman, yang disebut oleh sumber-sumber sejarah China sebagai Shih-li-t’o-pa-mo. Nama ini mengisyaratkan bahwa ia belum menjadi pemeluk Islam. Azyumardi Azra menyebutkan bahwa dua tahun kemudian (tahun 720 M), Raja Srindravarman yang semula beragama Hindu, kemudian memeluk Islam. Kerajaan Sriwijaya jambi pun kemudian dikenal dengan sebutan Sribuza Islam. Akan tetapi, pada tahun 730 M Raja Sriwijaya Jambi yang sudah memeluk agama Islam tadi di tawan oleh Kerajaan Sriwijaya Pelembang yang menganut Agama Budha. Namun dengan di tawannya raja Sriwijaya Jambi yang telah memeluk Islam tadi tidak membuat kaum muslimin kendor dalam mendakwahkan Islam, bahkan peristiwa tersebut menjadi sinyal kemunduran kerajaan Sriwijaya Palembang karena terjadi kemerosotan ekonomi. Dengan kemunduran kerajaan Sriwijaya Palembang ini, membuat perkembangan Islam di Nusantara semakin pesat, dakwah mulai memasuki daerah-daerah lain di pulau sumetera seperti Aceh, dan Minangkabau, salah satu bukti Islam masuk ke Minangkabau sejak awal kedatangan Islam ke Nusantara adalah adanya Tambo, yang mengisahkan tentang alam Minangkabau yang tercipta dari Nur Muhammad.

Sejak saat itulah, Islam memainkan peranan penting di pulau Sumatera, Kesultanan Peurelak menjadi kesultanan kedua setelah Sribuza Jambi yang dikenal dalam sejarah Islam. Peurelak merupakan pusat perdagangan di Nusantara saat itu dan merupakan tempat persinggahan pedagang-pedagang Arab, Persia dan India yang hendak berdagang ke China jika melalui jalur Laut. Kesultanan Peurelak ini didirikan hari Rabu 1 Muharram tahun 225 H yang bertepatan dengan 839 M dengan Sultan Pertamanya Sultan Alaiddin Shaikh Maulana Abdul Aziz Syah yang merupakan putera dari salah seorang juru dakwah yang bernama Ali bin muhammad bin Ja’far as-Shidiq dengan puteri istana kemeurahan Peurelak bernama Makhdum Tanshuri. Yang beribukota di Bandar Peurelak yang kemudian berganti nama menjadi bandar Khalifah. Sejak saat itu syariat Islam diterapkan. ang saat itu Syariat Islam disebut-sebut oleh Marcopollo sebagai ‘The Law of Muhammad’ atau ‘Undang-Undang Muhammad’.

Namun, di saat perkembangan Islam yang semakin subur di Nusantara. Kerajaan Sriwijaya yang sempat mengalami kemunduran di bidang ekonomi kembali bangkit dan kembali menyerang kesultanan Islam, karena di anggap mengancam eksistensi kerajaan Sriwijaya. Tak berselang dengan penyerangan kesultanan Peurelak oleh Kerajaan Srwijaya, di Timur Tengah terjadi penyerangan Baghdad oleh Pasukan Tar-Tar yang di sebabkan adanya penghianatan di dalam negara Khilafah yang menyebabkan pasukan tar-tar berhasil masuk sampai ke pusat pemerintahan Khilafah. Peristiwa ini merupakan peristiwa terpahit yang di alami umat Islam, karena selain terbunuhnya Khalifah al Musta’shim Billah oleh panglima pasukan tar-tar Bulaghu Khan. Kota Baghdad yang merupakan pusat pendidikan dunia saat itu di hancur leburkan. Sehingga saat itu kaum muslimin benar-benar kehilangan kekuatan dan hidup tanpa seorang khalifah. Meski demikian di sebelah barat kota Baghdad kaum muslimin masih berada dalam naungan kesultanan-kesultanan, seperti di Anatolia ada Bani Saljuk Rum, di Syam hingga Mesir ada Bani Mameluk dan di Hijaz ada Sharif Mekkah. Sharif Mekkah adalah penguasa Hijaz yang saat itu merupakan wilayah setingkat provinsi dari Khilafah Abbasiah. Namun tak lama kemudian Sultan Baibats Al-Bhandaqa dari Bani Mameluk membai’at Al-Mustansir Billah dari Bani Abbasiah sebagai Khalifah, yaitu pada tahun 659 H atau bertepatan dengan 1261 M, Sharif Mekkah pun menggabungkan kembali wilayah Hijaz kedalam kekuasaan Khilafah Abbasiah ini. Sehingga umat Islam kembali bangkit dan membebaskan daerah-daerah Islam yang sebelumnya sempat direbut oleh musuh-musuh Islam.

Sejak saat itu misi dakwah kembali di lancarkan keseluruh penjuru dunia. Dari sinilah titik terang berkembangnya Islam diseluruh Nusantara. Awalnya Sharif Mekkah mengirimkan beberapa juru dakwah ke daerah timur termasuk Nusantara. Salah satu daerah yang di kunjungi oleh para pengemban dakwah ini adalah Samudera Pasai atau yang sekarang Aceh. Karena saat itu samudera pasai menjadi tempat persinggahan para pedagang dari berbagai daerah dan sekaligus menjadi pusat perdagangan untuk daerah Asia Tenggara. Dakwah yang di bawah oleh utusan Sharif Mekkah ini dengan mudah di terima oleh masyarakat di Samudera Pasai karena sebelumnya ada beberapa daerah di sekitarnya pernah mengenal Islam yaitu Kesultanan Peurelak yang kemudian mengalami kemunduran karena ada serangan dari kerajaan Budha Sriwijaya. Sehingga Sharif Mekkah mengutus Syaikh Ismail untuk mengukuhkan Merasillo menjadi Sultan pertama di kesultanan Samudera Pasai dengan gelar Sultan Malikus Saleh dan sejak saat itu (1261 M) Samudera Pasai menjadi bagian dari Khilafah Abbasiah yang berada di bawah kontrol wilayah wali/gubernur Mekkah, sehingga Samudera Pasai (Aceh) disebut juga sebagai Serambi Mekkah. Dan memang begitulah seharusnya setiap wilayah yang berhasil di Islamkan secara sukarela dan penguasanya pun bersedia menerapkan syariat Islam maka wajib menggabungkan diri menjadi bagian dari Khilafah Islamiyah.

Semenjak bergabung ke dalam Khilafah Islamiyah, Kesultanan Samudera Pasai melesat menjadi pusat koordinasi dan pengkaderan da’i yang kemudian di kirim keseluruh penjuru Nusantara.

Dakwah Islam Besar-Besaran ke seluruh Nusantara, (Bersambung. . .)

_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _
Dakwah Islam Besar-Besaran ke seluruh Nusantara,

Dari Samudera Pasai dakwah Islam menyebar melalui dua jalur yaitu jalur Malaka dan Jalur Giri di Gresik. Dari Malaka dakwah Islam bergerak ke Johor, Keda, Rengganu, Pattani, Kelantan, Campa, Brunai, Sulu, Mindanao dan Manila., Sedangkan dari Giri (Gresik) Dakwah Islam menyebar ke Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, Palembang, Tanjungpura, Banjar, Sulawesi Selatan, dan Ternate dari Ternate menyebar ke Buton dan Sulawesi Tengah. Kemudian dari Sulawesi Selatan Dakwah Islam menyebar Kutai Kalimantan Timur dan Bima di Nusatenggara. Tentnuya misi Dakwah Islam ini memiliki terget politis yang jelas yakni menuyiapkan berdirinya kesultanan-kesultanan yang akan menerapkan Syariah Islam dan Menggabungkannya dengan Khilafah Islam yang saat itu di pimpin oleh Khalifah dari Bani Abbasiyah.

Penyiapan berdirinya kesultanan-kesultanan yang akan menerapkan Syariat Islam ini melalui dua uslub atau cara, pertama meyiapkan rakyat Kerajaan dengan memunculkan kesadaran Islam apada diri mereka, kedua menyiapkan ahlul kuwwah yakni pemilik kekuatan atau yang berkuasa dikerajaan tersebut dengan mendakwahkan Islam kepada Mereka dan membantu mereka dalam metode dan strategi agar mampu menerapkan Syariat Islam dengan Baik. Dalam sistem pemerintahan Hindu Budha pemilik kekuatan riil dalah Raja dan para Pangeran karena kekuatan militer berada langsung di bawah mereka sehingga dengan mudah Syariat Islam dapat diterapkan sebab tidak ada perlawanan atau penentangan dari pihak kerajaan yang akan di terapkan Syariat Islam tersebut. Penerapan strategi dakwah inilah yang di gunakan oleh para pengemban dakwah Islam di Nusantara saat itu.

Dakwah tidak hanya di lakukan oleh Da’i-Da’i asal Nusantara, tetapi Khilafah pun mengambil peran dalam penyebaran Islam ke seluruh Nusantara. Dengan di dukung kesultanan-kesultanan dari seluruh penjuru daerah Khilafah. Dukungan dilakukan dengan mengirimkan para Ulama terkemukannya untuk di utus berdakwah ke Nusantara. Pada tahun 808 H atau 1404 M berangkatlah sembilan Da’i Ulama dari berbagai tempat di wilayah Khilafah atas sponsor atau dukungan dari Sultan Muhammad Jalabi dari Kesultanan Turki Utsmani ke tanah Jawa melalui Kesultanan Samudera Pasai, mereka adalah Maulana Malik Ibrahim ahli Tata Pemerintahan Negara dari Turki, Maulana Ishaq dari Shamarkan yang dikenal dengan nama Syaikh Awalul Islam, Maulana Ahmad Jumadil Qubra dari Mesir, Maulana Muhammad Al Maghribi dari Maroko, Maulana Malik Ishroil dari Turki, Maulana Hasanuddin dari Palestina, Maulana Aliuddin dari Palestina dan Syaikh Subaqir dan Muhammad Ali Akbar dari Persia. Sebelum ke tanah Jawa sebagaimana utusan-utusan sebelumnya mereka singgah di Kesultanan Samudera Pasai yang saat itu di pimpin oleh Sultan Zainal Abidin Bahyan Syah (1439-1406 M), Sultan inilah yang mengantar Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishaq ke tanah Jawa. Pada Periode Berikutnya antara tahun 1421 -1436 M datang tiga Da’i Ulama ke Jawa menggantikan Da’i yang wafat, mereka adalah Sayid Ali putra Syaikh Ibrahim dari Shamarkan yang di kenal dengan Ibrahim Asmarakandi dari Ibu Putri Raja Campa Kamboja atau yang di kenal dengan Sunan Ampel, kemudian Syaid Ja’far Shodiq dari Palestina atau yang dikenal dengan sunan Kudus kemudian Syarif Hidayatullah dari Palestina cucu Raja Siliwangi Padjadjaran atau yang di kenal dengan Sunan Gunung Djati. Gelar sunan berasal dari kata susuhunan yang berarti yang di junjung tinggi atau panutan masyarakat setempat. Misi dakwah Islam ke tanah Jawa ini terorganisir dengan rapi dengan pembagian tugas dan wilayah yang jelas. Pada sidang 1436 M yang di adakan di Ampel Surabaya kelompok tugas dakwah ini membagi tugas dakwah menjadi sembilan pengurus atau wali, sunan Ampel, Maulana Ishaq dan Maulana Jumadil Qubra mengurus Jawa Timur, Kemudian Sunan Kudus, Syaikh Subaqir dan Maulana Al Maghribi mengurus Jawa Tengah sedangkan Syarif Hidayatullah, Maulana Hasanuddin dan Maulana Aliuddin mengurus Jawa Barat. Misi dakwah ini yang di kenal dengan nama misi Dakwah Wali Songo yang dipimpin oleh Sunan Ampel yang memiliki akses paling dekat dan paling kuat dengan pemegang kekuasaan Kerajaan Majapahit saat itu yaitu sebagai keponakan Prabu Brawijaya Kertabumi.

Mulai tahun 1463 M makin banyak Da’i ulama keturunan Jawa yang menggantikan Da’i yang wafat atau yang pindah tugas. Mereka adalah Raden Paku atau Sunan Giri putra Maulana Ishaq dan Dewi Sekardadu putri Prabu Menaksembuyu Raja Blambangan, Raden Said atau Sunan Kalijogo putra Adipati Wilatikta Bupati Tuban, Raden Makhdum Ibrahim atau Sunan Bonang dan Raden Qasim atau Sunan Drajat dua putra Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati Putri Prabu Brawijaya Kertabumi Raja Majapahit. Banyaknya gelar Raden yang berasal dari kata rahadiyan yang berarti tuanku di kalangan para wali menunjukkan bahwa dakwah Islam sudah terbina dengan subur di kalangan elit penguasa Kerajaan Majapahit Sehingga terbentuk sebuah Kesultanan tinggal tunggu waktu. Akhirnya setelah berjuang 75 tahun terget dakwah Wali Songo pun tercapai pada tahun 1478 M berdirilah Kesultanan pertama di Jawa yakni Kesultanan Demak dengan Raden Hasan Al fattah atau nama aslinya Djin Buni yang merupakan putra dari Prabu Brawijaya Kertabumi Raja Majapahit dengan Dewi Qi yan seorang putri Cina sebagai sultan pertama. Saat itu Majapahit telah runtuh akibat serangan Prabu Drindrawardana dari Kediri sehingga sebagai pangeran Majapahit raden Hasan adalah pemegang kekuasaan sah atas bekas kekuasaan Majapahit.

Sementara itu, Syarif hidayatullah atau Sunan Gunung Djati seorang wali yang bertanggung jawab untuk daerah Jawa Barat dengan strategi yang sangat jitu berhasil mendirikan Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten serta menjalin hubungan dengan kekaisaran Cina. Syarif Hidayatullah yang merupakan cucu Raja Siliwangi Raja Hindu terakhir di padjadjaran Bogor dari putri Ralasantang yang menikah dengan penguasa Mesir Sultan Syarif Abdullah. Bersama pamannya pangeran walangsungsang putra Raja Siliwangi, Syarif Hidayatullah mendirikan Kesultanan Cirebon, selanjutnya beliau mendirikan Kesultanan Banten bersama Sebokingking dan Fadhila Khan atau Wong Agung Pasai. Kesultanan Banten di pimpin pangeran Sebokingking yang disebut dengan gelar Sultan Maulana Hasanuddin putra Syarif Hidayatullah dari Mi Ka Wumen putri adipati Banten. Sehingga dua kesultanan ini di pimpin oleh para ahlul quwah yakni para pangeran dari bekas Kerajaan Padjadjaran.

Demikianlah perjalanan dakwah di Jawa, berkat pertolongan Allah dakwah berlangsung dengan damai. Fungsi para wali yang dipimpin oleh sunan Ampel dan kemudian gantikan oleh Sunan Giri setelah beliau wafat ini selain melantik para sultan di pulau Jawa juga layaknya Majelis Syuro’ bagi sang Sultan yang memberikan arahan-arahan strategis kepada sultan untuk melaksanakan syariat Islam baik pada politik ketatanegaraan Islam, pengajaran Islam kepada warganegaranya, hubungan dengan kesultanan Samudera Pasai maupun hubungan dengan kerajaan dan kesultanan lainnya serta dengan kekaisaran Cina.

Berikut adalah keultanan-kesultanan di Nusantara setelah terjadinya dakwah besar-besaran yang di awali dari Samudera Pasai sejak 15 hingga awal abad 19 M (1402-1500 M).Pada tahun 1402 M berdiri Kesultanan Brunai Darussalam di Kalimantan Utara dan Awang Alam Betahta seorang Raja Brunei yang masuk Islam sebagai sultan pertamanya dengan gelar Sultan Muhammad Syah, di Semananjung Malaya pada tahun 1414 M berdiri ke Sultanan Malaka yang di konversi dari kerajaan Hindu Parameswara sang raja yang kemudian menjadi sultan pertamanya bergelar Sultan Megad Iskandar Syah, di Kepulauan Sulu pada tahun 1457 M berdiri kesultanan Sulu di pimpin Paduka Maulana Mahasari Syarif Sultan Hasyim Abu Bakar sebagai Sultan pertamanya, di Jawa pada tahun 1478 M berdiri kesultanan Demak dengan pangeran Djin Buni sebagai Sultan pertamanya atau dengan gelar Sultan Alam Akbar Al fattah (Raden Hasan Al fattah) sementara di Gresik, berdiri kesultanan Giri dengan Raden Paku sebagai Sultan pertama bergelar Prabu Satmoto kembali ke Semenanjung Malaya pada tahun 1486 berdiri kesultanan Pattani Payaatunanatpa’ seorang raja Budha yang masuk Islam yang kemudian menjadi sultan pertama dengan gelar sultan Islamil Syah, di kepulauan Maluku pada tahun 1486 M beridiri Kesultanan Ternate dengan Zainal Abidin sebagai Sultan pertamanya selain Kesultanan Ternate di Kepalauan Maluku berdiri Kesultanan Tidore, Jailolo dan Batcan dan di akhir abad ke 15 M berdiri Kesultanan Cirebon di Jawa Barat dengan Syarif Hidayatullah sebagai Sultan pertamanya.

Sementara itu di Mesir pada tahun 1517 M terjadi perpindahan ke Khilafahan dari Khlaifah Al Muttawakil Alallah ketiga dari Bani Abbasiyah kepada Sultan Salim dari Turki Utsmani. Dengan berpindahnya ke Khilfahan di Turki Utsmani dan di terapkannya syariat Islam dengan penuh keimanan membuat tubuh Khilafah yang lemah sejak terjadinya perang salib hingga masa Abbasiyah Mesir kini mulai menguat kembali yang mempersatukan hampir seluruh wilayah Islam membentang dari Afrika Utara hingga ke Nusantara. Seiring dengan meningkatnya kekuatan Khilafah Islamiyah kekuatan-kekeuatan Kesultanan di Nusantara pun mencapai masa keemasannya. Di Aceh pada tahun 1511 kesultanan-kesultanan yang ada di sekitarnya menggabungkan diri menjadi Kesultanan Aceh Raya Darussalam yang beribukota di Banda Aceh Darussalam dipimpin oleh Sultan Ali Mugayyat Syah sebagai sultan pertamanya. Di Mindanao pada tahun 1515 M berdiri kesultanan Mindanao dipimpin oleh Syarif Muhammad Kabongsua, di ujung barat pulau Jawa pada tahun 1524 M berdiri Kesultanan Banten dengan pangeran Sebokingking sebagai sultan pertama dengan gelar Sultan Maulana Hasanuddin, di Sulawesi Utara pada tahun 1525 M berdiri Kesultanan Gorontalo dengan Sultan Amai sebagai Sultan pertamanya. Setelah kesultanan Malaka di Kuasai Portugis pada tahun 1528 M di semananjung Malaya berdiri Kesultanan Perak dengan Sultan Muzaffar Syah sebagai sultan pertamanya, di ujung semananjung Malaya pada tahun 1530 M berdiri kesultanan Johor dipimpin sultan Alaudin Ria’ayad Syah, di Madura barat pada tahun 1531 M berdiri kesultanan Arusbaya dengan Prakanum sebagai sultan pertamanya dengan gelar Panembahan Lemahduwo, di Sulewesi Tenggara pada tahun 1538 M berdiri kesultanan Buton setelah Raja yang keenam yakni Haluoleo memeluk Islamdengan gelar Sultan Murhum sebagai sultan pertamanya, dan di Sumatera selatan pada tahun 1539 M berdiri kesultanan Palembang dipimpin Kikidengsuro, di Kalimantan Timur pada tahun 1545 M berdiri Kesultanan Kutai Kartanegara dengan Aji dimakam sebagai sultan pertamanya dengan gelar Aji rajamahkota mulia Islam, di pedalaman Jawa pada tahun 1546 M berdiri kesultanan Pajang melanjtukan kesultanan Demak dengan Joko Tingkir sebagai sultan pertamanya sultan Hadi Wijaya, di Sumatera Barat pada tahun 1560 M berdiri Kesultanan Pagaruyun dengan sultan Alif sebagai Sultan pertamanya dan setelah kesultanan Pajang runtuh beridiri kesultanan Mataram pada tahun 1582 M dengan Sutiwijoyo Pangeran Ngapei Loring Pasar dengan gelar Panembahan senopati ing aloko sayidin panotokomo, di Sulawesi Selatan pada tahun 1593 M berdiri kesultanan Gowa Tallo dengan raja Gowa yang ke empat belas I Mangerangi Daeng Mangrabia sebagai sultan pertamanya dengan gelar Sultan Alauddin kesultanan ini beribukota di Makassar, selain kesultanan Gowa Tallo di Sulawesi Selatanberidiri juga kesultanan Bone, Luwuk, Wajo dan Sopeng, di Kalimantan Selatan pada tahun 1595 M berdiri kesultanan Banjar, kesultanan ini awalnya kerajaan Daha setelah Pangeran Samudera naik tahta kerajaan Daha di ubah menjadi kesultanan Banjar dengan pangeran Samudera sebagai Sultan pertamanya bergelar Sultan Suryansyah, di Nusatenggara pada tahun 1620 M berdiri Kesultanan Bima dengan Sultan Abdul Kahir (Ruma mawatawadhu)sebagai sultan pertamanya, di Sumatera Utara pada tahun 1669 berdiri Kesultanan Deli yang dipimpin Tuanku Panglima Perunggit sebagai sultan pertama yang bergelar Sri Paduka Tuanku Sultan, di kawasan Riau pada tahun 1722 M berdiri kesultanan Johor Riau dengan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah sebagai sultan pertamanya, setahun kemudian di pedalaman Riau berdiri kesultanan Syiak Sri Indrapura dengan Sultan Abdul Jalil sebagai Sultan pertamanya Rahmat Syah, di Kalimantan Barat pada tahun 1772 M berdiri kesultanan Pontianak dengan Syarif Abdur Rahman sebagai sultan pertamanya selain itu di Kalimantan Barat berdiri kesultanan Sambas dan Mempawai.

Faktor utama berkembangnya kesultanan yang menerapkan syariat di Nusantara saat itu adalah dukungan ahlul quwwah atau pemegang kekuasaan pada kerajaan-kerajaan yang kemudian mengkonversi menjadi kesultanan karena mau menerima Islam sebagai Ideologi yang dapat mengatur segala aspek kehidupan mulai dari pemerintahan dan ketatanegaraan, peradilan, ekonomi, peribatatan, pergaulan pria dan wanita, pendidikan, pakaian, hubungan sesama kesultanan Islam bahkan hubungan terhadap selain kesultanan Islam yang di bangun atas dasar aqidah Islam. Penerapan syariat Islam di Indonesia berlangsung kurang lebih selama 10 Abad hingga masuknya para penjajah saat itu dan mulai tergoncangnya ke Khilafahan karena banyaknya masalah internal seperti pemberontakan dan lain-lain yang mengakibatkan para orientalis berhasil menjajah dan memisahkan negeri-negeri Islam dari Khilafah Islamiyah dan membentuk negara kebangsaan atau nation state seperti sekarang ini termasuk Indonesia. 
Sumber-Sumber penulisan artikel :
~ Buku Khilafah dan Jejak Islam Kesultanan Islam Nusantara, cetakan I, Rajab 1430 H/juni 2009, penerbit: Pustaka Thariqul Izzah 2009, pengarang: Anonim
~ Majalah Hidayatullah, ‘2020 Indonesia Beperadaban Madinah’ edisi khusus milad 2008. Penerbit: PT. Lentera Jaya Abadi
~ Video Documenter ‘Sejarah Penerapan Syariah Islam di Indonesia’. Editor Ahli: Ust. KH. Sidiq Al Jawi dan Dr. Ing. H. Fahmi Amhar. Penerbit : El Moesa Production
http://bs-ba.facebook.com/board.php?uid=217029511863&f=2&start=0&hash=d4ea83e47b6f2ede7f42903cb364eb9a
 

No comments:

Post a Comment